Dalam sejarah toleransi Islam tidak lagi dipertanyakan. Bukan berarti Perjalanan Umat ini selalu ideal. Ada masa-masa di mana pemeluk Umat ini mengalami deviasi (pelanggaran) dari agama.
Oleh:
Shamsi Ali || Presiden Nusantara Foundation
DI MUSIM perayaan hari-hari agama, kerap kata toleransi digaungkan. Seolah toleransi itu hanya terkait dengan ungkapan “selamat” kepada pemeluk agama lain dalam menjalankan perayaan hari-hari besar agama mereka.
Dengan kata lain serasa toleransi itu adalah komitmen musiman. Toleransi di musim Idul Fitri atau toleransi di musim natalan. Demikian seterusnya.
Dalam pandangan Islam toleransi itu adalah bagian dari keyakinan. Toleransi bukan sekedar memberikan ruang kepada pemeluk agama lain untuk meyakini dan menjalankan keyakinan mereka. Tapi menerima (acceptance) eksistensi mereka sebagai bagian dari sunnatullah (keputusan Allah).
“Dan sekiranya Allah menghendaki maka Allah menjadikan kalian semuanya sebagai satu ummat” (Al-Quran).
Dan karenanya menentang eksistensi agama lain atau keberadaan kelompok agama lain adalah juga penentangan kepada sunnatullah atau keputusan Allah tersebut. Sungguh sebuah sikap yang tegas dalam mengafirmasi eksistensi “keragaman” dalam ciptaan Allah itu.
Islam itu memang agama dakwah. Dalam bahasa lain agama yang memiliki misi untuk disampaikan. Dan karenanya menyampaikan Islam itu adalah kewajiban semua pemeluk agama ini.
Hanya saja jangan lagi kata “menyampaikan” ini diplintir dengan kata “memaksakan”. Karena pemaksaan selain memang tidak sejalan dengan arti “keyakinan” yang harusnya merupakan kesadaran hati. Juga karena pemaksaan memang dilarang keras oleh Islam itu sendiri.
“Tiada paksaan dalam agama” (Al-Baqarah:256).
Dan karenanya Al-Quran kemudian mengaffirmasi keberadaan agama lain: “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (Surah Al-Kafiruun).
Dari semua ini disimpulkan bahwa toleransi itu adalah menerima (acceptance) akan eksistensi keyakinan lain di sekitar kita. Penerimaan ini berarti menerima “realita eksistensi” dan bukan menerima atau mengakui apalagi memeluk “kebenaran” dari keyakinan orang lain.
Dan karenanya ada beberapa hal yang perlu disadari dalam proses membangun toleransi itu.
Pertama, saling mengenal. Belajar untuk mengenal siapa di sekitar kita dan apa serta bagaimana keyakinan mereka.
Kedua, saling memahami. Dengan pengenalan tadi akan terbangun saling memahami (mutual understanding) tentang satu sama lain. Walau berbeda, bahkan secara mendasar, tapi saling memahami dalam perbedaan itu.
Ketiga, saling menghormati. Dengan saling memahami akan keadaan masing-masing, bahkan dengan perbedaan yang mendasar sekalipun, tetap terbangun saling menghormati (mutual respect).
Keempat, menyambung kasih sayang. Islam sendiri adalah agama “kasih sayang” (rahmah). Dan kasih sayang ini ditujukan untuk semua manusia (rahmatan lil-alamin). Karenanya toleransi itu terimplementasikan dalam bentuk menyambung kasih sayang. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk membenci dan bermusuhan.
Kelima, membangun kerjasama dalam hal-hal yang disepakati. Pada tataran ini jelas bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ubudiyah, semuanya merujuk kepada “lakum diinukum wa liya diin” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Karenanya kesepakatan ada pada masalah-masalah muamalat kemanusiaan. Termasuk membangun kemakmuran dan keadilan bersama.
Toleransi itu berasas kejujuran dan keadilan.
Hanya saja seperti yang pernah saya tuliskan beberapa waktu lalu dengan judul “toleransi yang memihak” (baca di sini: https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/oq2wzz396), seringkali toleransi yang kita wacanakan itu mengalami degradasi kejujuran serta bersifat parsial (tidak adil).
Dengan kata lain, seringkali kita mewacanakan toleransi itu dengan tendensi-tendensi politik. Tidak terbangun di atas asas kebenaran dan kejujuran. Label toleransi dan intoleransi dimuculkan sebagai labelisasi tertentu untuk membangun sebuah stigma tertentu. Dan ini kerap kali didorong oleh kepentingan-kepentingan sempit, termasuk kepentingan politik.
Dan karenanya berasaskan kejujuran dan kebenaran, toleransi juga harus berkarakter keadilan. Artinya toleransi itu harusnya tidak memihak kepada siapa saja. Tapi kepada semua.
Saya akan toleran kepada saudara-saudara saya yang tidak seiman dengan saya. Bukan alasannya karena mereka tidak seiman dengan saya. Tapi memang itulah posisi dasar saya sebagai seorang Mukmin.
Tapi janganlah saya dianggap intoleran kepada orang lain, jika ekspresi toleransi itu saya tujukan kepada sesama manusia yang juga sesama iman. Karena itu juga tuntutan iman dan Islam saya.
Itulah yang saya maksud dengan toleransi yang berasas keadilan. Toleransi yang tidak memihak berdasarkan kepada pengelompokan manusia. Tapi berdasarkan kepada nilai kebenaran dan keadilan yang diyakini.
Dalam sejarah toleransi Islam tidak lagi dipertanyakan. Bukan berarti Perjalanan Umat ini selalu ideal. Ada masa-masa di mana pemeluk Umat ini mengalami deviasi (pelanggaran) dari agama. Umat terkadang keluar dari jalur kebenaran Islam, bahkan atas nama Islam itu sendiri.
Tapi Islam itu konsisten dengan sikap toleransinya. Itulah yang dibuktikan oleh Sejarah. Dari zaman Rasul di Madinah, kekuasaan Islam di Timur Tengah saat itu, hingga ketika Islam meluas bahkan hingga Ke daratan Eropa.
Jika saja Sejarah itu jujur pastinya akan mengakui itu. Hanya saja seringkali Sejarah dimanipulasi dan dinarasikan sesuai dengan kepentingan yang ada.
Maka di saat-saat musim keagamaan seperti ini mari kita memperuat komitmen toleransi itu. Bukan sekedar ekspresi musiman. Tapi jadikanlah bagian dari proses kehidupan kita.
Tapi yang terpenting, mari kita bangun toleransi itu di atas asas kejujuran serta berkarakter keadilan. Semoga!*