Oleh:
Dr. Margarito Kamis SH. Mhum. || Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate
TERBUNUHNYA enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) tanggal 7 Desember 2020, hampir dua bulan yang lalu, memunculkan dua fakta. Fakta yang ditemukan oleh Polri, dan fakta yang ditemukan Kimisi Nasiona Hak Asasi Manusia (Komnas Ham).
Kedua temuan itu berbeda pada sejumlah aspek krusialnya. Fakta itu muncul pada waktu yang berbeda. Fakta yang ditemukan Polisi mendahului fakta yang ditemukan Komnas Ham. Fakta yang ditemukan Polisi terlihat selaras dengan pernyataan Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya.
Esensi pernyataannya adalah Laskar menyerang petugas. Serangan itu membahayakan keselamatan petugas, sehingga terjadi baku tembak. Baku tembak versi Kapolda itulah yang direspon Bareskrim, yang dipimpim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Mereka telah melakukan reskonstruksi.
Aspek Non Hukum
Rekonstruksi terlihat berbasis kasus menurut Muhamad Fadil Imran, Kapolda Metro Jaya. Sekarang ini buntu. Ini disebabkan Komnas Ham menemukan kenyataan yang berbeda. Empat orang mati setelah diangkut dengan mobil petugas. Dua lainnya mati, entah saat baku tembak atau setelah jedah.
Empat orang yang mati setelah diangkut dengan mobil petugas, jelas. Unlawfull killing. Dua lainnya tidak diberi sifat lawfull atau unlawfull killing. Apapun itu, kematian mereka mewakili satu kecenderungan. Bahkan pola kematian mereka yan teridentifiksi kritis terhadap pemerintah.
Kematian itu, untuk alasan apapun, tidak bisa dilepaskan dari gairah pemerintah menandai Habib Rizieq Shihab (HRS). Nampaknya HRS ditandai sebagai oposan tulen terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Terus saja begitu setelah HRS kembali dari mengasingkan dirinya ke Arab Saudi.
Segera setelah tiba di tanah air, HRS yang kritis ini menggaungkan apa yang beliau sebut “revolusi ahlak.” Entah untuk merealisasikan hasratnya atau bukan, terlihat secara empiris HRS melakukan serangkaian kegiatan. Sangat akseleratif. Setelah merayakan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, yang dihadiri lautan kecil manusia di Petamburan, beliau bergerak ke Mega Medung. Mirip di Petamburan, sambutan orang di Mega Mendung juga terlihat bagai lautan kecil.
Di Mega Mendung, entah saat itu juga atau setelahnya, HRS telah berada dalam pantauan aparatur kepolisian. Polda Metro nampaknya menemukan justifikasi untuk mengintensifkan pemantauan itu. Sadar atau tidak, diperhitungkan atau tidak oleh Habib, ketidakhadiranya memenuhi penggilan penyidik Polda Metro dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan, menjadi justifikasi Polda.
Waktu terus berjalan, hingga tiba pada tanggal 14 Januari 2021, Komnas Ham menyerahkan laporan penyelidikannya ke Presiden. Apa respon Presiden? Presiden tidak menyatakan sendiri sikapnya. Melainkan sikap Presiden dinyatakan oleh Menko Polhukam.
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kalau Presiden Joko Widodo sudah menerima kesimpulan maupun rekomendasi Komnas HAM terkait insiden “baku tembak” (tanda petik dari saya) laskar FPI dengan aparat kepolisian. Tadi Presiden sudah menerima laporan investigasi dengan semua rekomendasinya. (Lihat CNN. Indonesia.com. 14/1/2021).
Apa betul Presiden memiliki persespi peristiwa ini sebagai baku tembak? Baku tembak atau menembak? Semoga tidak begitu. Bila betul begitu, maka tantangan pengungkapan kasus ini tidak bisa dianggap sepele. Sebab kenyataannya, tidak persis sama dengan persepsi Presiden, yang dinyatakan oleh Menko Polhukam itu. Dalam konfrensi pers penyampaian kesimpulan investigasi mereka, Komnas membagi, dalam esensinya, area peristiwa kematian keenam orang laskar FPI ini.
Dua orang mati, entah pada saat kejar-kejaran, serempet-menyerempet dan seruduk-menyeruduk, terutama disepanjang jalan Internasional Karawang Barat, diduga hingga Kilometer 49, dan berakhir di Kilometer 50. Komnas menyebut bahwa di Kilometer m 50 Tol Jakarta Cikampek (Japek), 2 (dua) orang anggota Laksus ditemukan dalam kondisi meninggal.
Empat lainnya masih hidup, dan dibawa dalam keadaan hidup oleh petugas Kepolisian. Dua orang mati saat baku tembak didalam mobil? Empat orang itu ditembak di dalam mobil petugas yang membawa mereka dari Kilometer 50 menuju Polda Metro Jaya.
Penembakan ini, menurut Komnas Ham merupakan respon petugas atas sikap keempatnya melawan petugas. Sikap keempat almarhum, yang hanya diterangkan oleh petugas itu, membahayakan keselamatan petugas, (Lihat Press Rilis Komnas Ham, tanggal 8 Januari 2021). Kalau begitu, mengapa Presiden tidak bicara sendiri? Mengapa sikap Presiden disampaikan oleh Menko Polhukam? Apa yang membuat Presiden tidak menyampaikan sendiri sikapnya? Ini menarik dianalisis.
Transparansi penyidikan kasus ini, mungkin akan menjadi sesuatu yang sangat sulit diwujudkan. Sikap Presiden, suka atau tidak harus dipertimbangkan. Presiden boleh saja bicara buka kasus ini setuntas-tuntasnya. Tetapi masalahnya tidak disitu. Masalahnya mengapa lebih dari sebulan tidak ada instruksi spefisik kepada Kapolri dan Kabareskrim untuk mengusut secepat, tepat dan transparan kasus ini? Setidaknya instruksi itu dikeluarkan segera setelah Komnas menyampaikan temuannya ke masyarakat.
Apakah kelambanan itu menjadi cerminan Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang memecah belah? Berkarakter rasis? Berada di atas negara? Apakah Presiden memiliki persepsi FPI sebagai Ormas yang terus-terusan menyusahkan Presiden? Semoga saja tidak.
Pelarangan FPI berkegiatan, pemblokiran rekening-rekening FPI, dengan alasan adanya aliran dana dari luar negeri sekalipun, semuanya menyatu menjadi tirai tebal antara Presiden dan FPI. Menumpuknya tuduhan kepada HRS, suka atau tidak, telah menandai soal lain, yang menghasilkan kesulitan bekerjanya transparansi dalam pengungkapan kasus ini.
Menjadi ajudan Presiden, mungkin menghasilkan keadaan tertentu antara Kapolri dengan Presiden. Mungkin saja. Tetapi lupakan saja itu. Soal terbesarnya bukan disitu. Soal terbesarnya adalah Bareskrim di bawah Komjen Listyo Sigit terlihat kelewat lambat menyidik kasus ini.
Kabareskirm memiliki wewenang menyidik kasus ini. Tanpa perlu menunggu rekomendasi Komnas HAM yang berada di tangan Presiden. Apa yang membuat Kabareskrim lambat? Mengapa Kabareskrim tidak responsive? Mengapa responsif baru diucapkan dalam fit and proper test sebagai calon Kapolri?
Tidak Bisa Berharap
Bisakah faktor teknis, apapun itu, disodorkan sebagai penyebab lambatnya pengungkapan kasus ini? Bila iya, maka soalnya beralih ke level kerja transparansi berbasis due process of law penyidikan kasus ini. Pada titik ini tantangan baru segera menemui Kapolri baru. Apa tantangan itu?
Dapatkah dua mobil yang menurut Komnas Ham tak teridentifikasi dari satuan mana, tetapi aktif terlibat dalam pembuntutan itu, disajikan secara tuntas? Ini bukan soal penyidik pemeriksa. Sama sekali bukan. Soal ini berada diluar kendali mereka. Ini bukan soal Kabareskrim baru. Ini soal Kapolri baru nanti.
Termasuk dalam soal itu adalah menemukan fakta yang kokoh atas kematian dua orang yang terpisah dari kematian keempat orang lainnya. Logiskah penyidik bekerja hanya sebatas kesimpulan lemah Komnas Ham? Berhenti pada petugas yang ada dalam mobil?
Kematian dua orang yang terpisah dari empat almarhum, seolah telah beres dengan kesimpulan Komnas Ham. Tidakkah bekas tembakan justru menghadirkan keharusan untuk meragukan temuan Komnas? Tembak-menembak lalu peluru kena dada keduanya? Diturunkan dari mobil di Kilometer 50 dalam keadaan telah mati?
Keraguan juga menemukan alasan untuk diketengahkan dalam mengenal sebab sesungguhnya dari kematian keempat orang almarhum. Area peristiwa itu (dalam mobil) memang memudahkan penyidik menemukan pelakunya. Tetapi bukan disitu soalnya.
Soalnya adalah setepat apakah penyidik menyajikan fakta secara utuh. Untuk apa? Agar distribusi tanggung jkawab menjadi adil. Konsekuensinya penyidik tidak memiliki pilihan lain selain harus menggali setuntas-tuntasnya prosedur penanganan keempat almarhum itu.
Pada titik ini, penyidik mau tidak mau, akan berhadapan dengan tuntutan teknis yang logis. Penyidik dipaksa secara teknis mendapatkan keterangan, misalnya apakah para petugas melaporkan keadaan keempat orang yang telah berada dalam mobil kepada atasan atau tidak? Termasuk bagaimana keputusan membawa keempat almarum ke rumah sakit.
Apakah keputusan membawa keempat almarhum ke rumah sakit, dibuat sendiri oleh petugas dalam mobil itu atau diperintahkan oleh orang lain? Logiskah petugas dalam mobil mengambil prakarsa menembak mereka? Rumitkah ini secara teknis? Terlihat tidak. Kerumitan non teknis, untuk sejumlah alasan, merupakan tantangan terberat yang melingkari kasus ini.
Politik hukum pemerintahan Presiden Jokowi mungkin tak bakal dapat menyediakan energi untuk transparansi bekerja setuntas-tuntasnya. Itu sebabnya siapapun dapat memasuki soal ini dengan menyatakan serelatif apapun kasus ini terungkap, mungkin sudah sangat hebat.
Tidakkah kematian 7 (tujuh) pendemo tanggal 21 Juni 2019, dalam protes hasil pemilu juga berlalu begitu saja? Tak ada yang dibawa ke depan pengadilan. Mereka diidentifikasi melalui investigasi sebagai pembuat kekacauan. Membuat kekacauan diambil dan disodorkan sebagai alasan pembenar. Argumen itu membut peristiwa tragis ini berlalu begitu saja bersama waktu.
Sebanyak 989 petugas KPPS pemilu 2019, yang juga mati ditengah dan dalam waktu berdekatan dengan penyelesaian penghitungan pemilu, hanya jadi cerita pilu dan hitam ditengah gelora demokrasi dan rule of law. Tak ada satu pun manusia yang dihadapkan ke pengadilan.
Terlihat sama polanya. Kematian demonstran penolak RUU KUHP dan UU KPK juga berlalu begitu saja saja. Dilansir dari Merdeka.com tanggal 17 Okober 2019, total ada lima korban meninggal pasca demo berujung ricuh dengan polisi tersebut.
Mereka adalah Maulana Suryadi (23), Akbar Alamsyah (19) dan Bagus Putra Mahendra (15) di Jakarta dan dua mahasiswa Universitas Haluoleo yakni Immawan Randi (21) serta Muhammad Yusuf Kardawi (19). Sementara jumlah korban luka tak diketahui persis berapa banyaknya. Satu yang paling parah adalah mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia, Faisal Amir (Merdeka.com, 17 Oktober 2019).
Kematian-kematian dalam lintasan berdimensi politik, sejauh ini terlihat memola menjadi hal biasa disepanjang pemerintahan Jokowi. Bikin ricuh, bikin kacau atau ditunggangi, terlihat menjadi alasan terpola, yang membenarkan kematian tersebut.
Itu sebabnya mengharapkan lebih dari yang bakal disajikan dalam penydikan kasus Kematian laskar FPI, pasti terasa aneh. Akan muncul berbagai keadaan justifikasinya. Toh hukum dalam dimensi politik, untuk semua alasan yang mungkin dipakai, selalu begitu, menjadi hamba politik.
Politik putih, hukum putih. Politik hitam, hukum hitam. Politik busuk, hukum jadi alat tercaggih memukul oposan. Begitulah sejarah bangsa ini menuliskannya. Presiden Jokowi dan Pak Kapolri sekarang dan baru nanti mau ditulis sejarah sebagai apa? Sejarah akan menemukan dan menulis bapak berdua, entah sebagai apa.*
Sumber: Fnn.co.id