Oleh:
Harits Abu Ulya || Pengasuh, Khodim PPTQ Al Bayan
GERAKAN Wakaf Nasional yang dicanangkan pemerintah bagi mayoritas umat Islam di Indonesia itu secara eksplisit terkesan positif karena kebetulan program ini kongkruen dengan norma/ketentuan syariah Islam. Jauh hari hakikatnya program ini sudah dicanangkan oleh Baginda Rasulullah SAW untuk semua umatnya sejak 1400-san tahun lalu.
Menurut saya program ini kawatirnya di respon skeptis oleh sebagian besar oleh umat Islam. Kenapa? Paling tidak ada beberapa hal penting antara lain;
Pertama, karena tata kelola pemerintahan saat ini dianggap acak kadul, kejahatan ekstra ordinary crime seperti korupsi masih merajalela sebab faktor produk kebijakan yang membuka peluang untuk kesana.
Perampokan uang negara dan rakyat, bahkan semisal korupsi dana bansos dimasa pandemi wabah penyakit covid19 menjadi bukti empirik betapa bermasalahnya tata kelola keuangan oleh pemerintah.
Ini melahirkan ketidakpercayaan akut dilevel akar rumput kepada pemerintah. Bisakah pemerintah itu amanah mengelola aset harta kekayaan rakyat dan negara ini? Apalagi kalau aset tersebut adalah hutang.
Misal lain; dana Asuransi Jiwasraya, Asabri, BPJS, etc yang konon cukup ketat aturan dan sanksinya saja dirampok di garong. Apalagi kedepannya dana wakaf yang nota bene adalah ibarat menu "makan gratis" dari umat. Entah apa jadinya kalau bicara akuntanbilitasnya.
Kedua, dari aspek konsepsi pengelolaan dana wakaf yang konon orentasinya adalah dikembalikan untuk pemberdayaan ekonomi umat. Kemudian untuk pembiayaan proyek-proyek infrastruktur, semua itu terkesan seperti gula-gula manis yang dijanjikan.
Namun pertanyaanya kembali; apakah pemerintah saat ini cukup kredibel dan amanah untuk kelola dana umat ini? Kalau tidak, maka itu semua dimaknai sekedar "lipstik" untuk menarik respon umat.
Umat Islam bisa skeptis sebab sadar, menyadari program ini muncul ditengah sikon pemerintah dengan keuangan yang tekor bahkan bangkrut, gali lubang tutup lubang. Dan seperti orang kalap, asal lihat peluang disana ada dana besar maka apa boleh buat..di embat juga dengan dibuat program dan kebijakan baru.
Tapi anehnya seolah tidak pernah berbenah diri dan intropeksi diri, ada problem serius di kredibilitas para penguasa dan akuntanbilitas tata kelola keuangannya selama ini.
Kenapa tidak muncul gagasan gerakan sita aset koruptor, ide nasionalisasi perusahan-perusahan tambang dan energi, dan ide-ide menyangkut nilai strategis lain yang bisa menjadi sumber keuangan bagi negara?? Ngapain kok bernafsu ngejar "menu gratis" dari umat Islam.
Ketiga, umat Islam yang melek politik sangat heran melihat polah tingkah penguasa hari ini.
Satu sisi sibuk mereproduksi narasi-narasi Islamfobia dan mengumbar secara sistemik. Tapi disisi lain, giliran menyangkut uang dan atau harta umat mereka kebijakannya sok "ramah" padahal hakikatnya bernafsu sekali umat hanya di jadikan "sapi perah" untuk kepentingan mereka. Inilah ambivalensi dimasa rezim Jokowi.
Prediksi saya, umat Islam banyak skeptisnya melihat program atau kebijakan model seperti ini dan umat tidak sebodoh yang dikira.
Perlu diingat oleh umat Islam; Tanpa program wakaf nasionalpun, kita berharap umat Islam semangat dan menggalakkan altruisme sosial, ini adalah bagian integral dari ibadah umat Islam. Tapi jangan lupa salurkan kepada pihak-pihak yang amanah dan berani tanggungjawab dunia akhirat. Secara prinsipil normatifnya tidak ada kewajiban wakaf terpusat harus melalui negara atau pemerintah.
Jangan lupa, waspadalah kepada gerombolan "maling duduk perutnya buncit" alias koruptor yang berkerumun/numpang/bercokol di pusat-pusat kekuasaan dan kebijakan.*