Oleh:
Tony Rosyid || Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
PEMIMIPIN itu soal nasib. Betul itu. Banyak orang yang tak layak, tetapi jadi pemimpin. Inilah yang disebut “holders of exceptional positions”. Orang bodoh yang mengambil porsinya orang pintar. Dia bisa menjadi kepala daerah atau presiden karena nasib saja. Meski tak memenuhi syarat, baik itu integritas dan kapasitas.
Sistem pemilu di Indonesia memberi ruang bagi mereka yang tak memenuhi “syarat substansial” untuk menjadi pemimpin. Sebab, untuk menjadi pemimpin di negeri ini hanya butuh popularitas dan akses ke pendanaan. Kalau syarat subtansial ini sudah dipenuhi, maka jalan untuk menjadi pemimpin terbuka.
Soal popularitas, pelajari saja apa yang diminati media. Semua sikap dan tindakan disesuaikan dengan kebutuhan media, pasti populer. Blusukan, masuk gorong-gorong, datangi gelandangan, nyebur ke comberan, ikut becek-becek bersama petani, itu yang disukai media. Dengan modal popularitas dan akses dana, anda bisa beli tiket partai dan menghipnotis pemilih. Cukup itu saja. Simple kan?
Bicara “syarat substansial”, pemimpin idealnya adalah orang yang banyak membaca. Ini bukan hanya soal pengetahuan dan wawasan saja. Tetapi yang terutama soal mental. Orang yang banyak baca, setidaknya dia pertama, mau mendengar banyak ide dan gagasan. Kedua, peduli pada data. Ketiga, menganggap penting analisis dan kajian.
Pemimpin yang tak suka, atau miskin bacaan, sulit mendengar pendapat orang lain. Cenderung tak peduli pada data. Tidak menyaring banyak pandangan, dan abai terhadap kajian. Yang penting kerja dan kerja. Tidak sabar, dan ingin serba cepat. Instan dan spontan. Pokoknya, dengar atau lihat masalah, langsung selesaikan. Tak berpikir tingkat efektifitas dan dampaknya. Yang penting, selesaikan.
Lihat orang gak bisa nyebrang, bikin pelabuhan. Beli kapal-kapal, agar masyarakat bisa nyebrang. Nggak berpikir kemampuan biayanya. Berapa besar manfaatnya, dan bagaimana cost kedepannya? Pokoknya dermaga harus dibuat. Ya, banyak sepidan mangkrak. Kenapa? Karena tidak berbasis pada kajian. Lihat itu bandar udara Kertajati Jawa Barat.
Ingin setiap daerah tumbuh ekonominya, bikin jalan tol. Bahkan bila perlu, di semua provinsi ada tol. Pertanyaanya, apakah masyarakat di wilayah itu butuh jalan tol? Kalau nggak butuh, tol pastui sepi. Nggak mampu biaya perawatan. Bangkrut, dijual. Semua ini karena program tak berbasis kajian.
Ada juga yang nggak tahan lihat gelandangan. Main kasih rekomendasi kerja di BUMN. Nggak melihat dulu apa masalah mereka? Berapa banyak jumlahnya? dan dimana sebaran wilayahnya? Nggak mengkaji lebih dulu program menteri sebelumnya, mana yang belum efektif? Apa yang salah dan perlu dibenahi dari program sebelumnya? Pokoknya, kasih kerjaan. Emang mereka lagi cari kerja?
Selain memperlebar telinga, menajamkan mata, dan membuat peka syaraf otak, membaca memberi wawasan dan kekayaan pandangan. Dengan membaca, seorang pemimpin punya banyak alternatif dalam membuat keputusan. Ini akan mempengaruhi kematangannya dalam membuat setiap kebijakan.
Selain membaca, seorang pemimpin mesti gaul. Maksudnya, banyak relasi. Ketika dia jadi pemimpin, kenal banyak orang dengan latar belakang profesi dan kemampuannya. Lalu menyiapkan orang-orang yang layak untuk diajak berkolaborasi mengelola negara. Tahu integritas dan kapasitas mereka. Bukan hanya berpikir bagaimana menang, tetapi juga bagaimana mengisi kemenangan itu.
Nah, disini seorang pemimpin butuh teknokrat handal dan berintegritas. Idealnya, seorang pemimpin punya latar belakang aktifis yang akrab dengan persoalan-persoalan bangsa. Aktifis di dalam atau di luar pemerintahan. Lepas apapun profesinya, keakraban dengan problem bangsa akan membantunya untuk memahami dan memetakan persoalan.
Aktifis itu terlatih berpikir cerdas, bertindak cepat dan terukur. Tidak seperti akademisi tulen yang terkungkung oleh teori-teori dan muter-muter dalam wacana. Aktifis itu paham masalah, tahu teorinya, cepat keputusannya. Poinnya, sebelum jadi pemimpin, ia mesti paham apa masalah yang dihadapi bangsa ini. Ada gagasan di otaknya bagaimana menyelesaikan masalah itu.
Bayangkan, jika seorang pemimpin nggak punya data. Nggak paham masalah. Nggak tahu apa-apa soal bangsa. Bagaimana dia punya gagasan dan program. Akibatnya, banyak pemimpin yang nggak paham apa yang diucapkan dan dijanjikan saat kampanye. Sebab, yang membuat janji itu timsesnya, bukan dirinya. Dia nggak paham janji yang disampaikan itu. Paham saja enggak, bagaimana melaksanakan?
Model-model man of contradictions di negeri ini banyak. Karena tak memenuhi “syarat substansial” sebagai pemimpin. Ngaco jadinya. Asal kerja saja.*