Oleh:
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. || Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana
PENERAPAN Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan terhadap IB HRS dkk semakin dipertanyakan. Disini dipertanyakan apakah memang ada sanksi pidana dalam Pembatasan Sosial Beslaka Besar (PSBB) dan Protokol Kesehatan (Prokes) dalam bentuk kerumunan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW?
Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya dimaksudkan sebagai upaya cegah tangkal terhadap penyebaran penyakit yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, termasuk didalamnya faktor risiko kesehatan. Upaya cegah tangkal itu sendiri lebih ditujukan pada bidang transportasi darat, laut, maupun udara. Kesemuanya itu menunjuk pada pintu masuk, yakni tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
Demikian banyak disebut perihal transportasi yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Dapat dikatakan bahwa Kekarantinaan Kesehatan merupakan suatu tindakan guna mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat.
Menyangkut ketentuan Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang menyebutkan, “Setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”, harus dipahami dengan cermat. Ketentuan ini menunjuk pada kewajiban dalam upaya pencegahan dan penangkalan keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dalam hal ini pandemi COVID-19 (Pasal 1 angka 1).
Penerapan PSBB memang dimaksudkan sama dengan Karantina Wilayah sebagai bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Namun dilihat dari fungsinya bersifat pencegahan meluasnya COVID-19. Hal ini disebutkan dalam Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi, “Pembatasan Sosial Berskala Besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu.” Sementara, penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan satu paket, yakni upaya pencegahan dan penangkalan dan oleh karenanya setiap orang wajib mematuhi kebijakan penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang ditetapkan. Oleh karena Pemerintah Pusat tidak menetapkan Kekarantinaan Kesehatan, maka keberlakuan Pasal 9 Ayat (1) telah kehilangan objeknya.
Dihubungkan dengan Pasal 93, unsur “tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan” tentu tidak dapat diterapkan, mengingat Pemerintah Pusat tidak menerapkan upaya cegah dan tangkal dalam bentuk Karantina sebagaimana dimaksudkan. Menjadi lain halnya jika yang diterapkan adalah Karantina Wilayah. Terlebih lagi Pasal 93 menyebutkan “dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”. Unsur “menghalang-halangi” tentu harus ada terlebih dahulu status Kekarantinaan Kesehatan (in casu Karantina Wilayah) dan dengannya ditetapkan Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan Karantina Wilayah. Faktanya tidak pernah ada penetapan status Karantina Wilayah yang ada hanya PSBB.
Patut dicatat, Pasal 9 Ayat (1) Jo Pasal 93 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan adalah delik materil yang mempersyaratkan harus adanya akibat konkrit. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan: “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Unsur “tidak mematuhi” dan/atau “menghalang-halangi” dimaksudkan bagi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan yang menyebabkan terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Keberlakuan delik materil menunjuk harus nyata ada terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Di sini, tidak dapat dibenarkan penggunaan analogi yang menyamakan PSBB dengan Karantina Wilayah. Hukum pidana dengan tegas melarang penggunaan analogi, sebab bertentangan dengan asas legalitas.
Sementara itu, ruang lingkup PSBB yang mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, tidak ditemui sanksi hukum pidananya dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Jika kita cermat membaca Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, maka kita ketahui bahwa adresatnya menunjuk pada moda transportasi, baik udara, laut dan darat. Banyak pasal-pasal yang mengaturnya, setidaknya terdapat sekitar 32 pasal. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam ketentuan Bab XIII Ketentuan Pidana. Pasal 90 menunjuk pada Nakhoda, Pasal 91 menunjuk pada Kapten Penerbang, Pasal 92 menunjuk pada pengemudi kendaraan darat. Kemudian Pasal 93 menujuk pada setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Setiap orang disini adalah tentu orang selain, Nakhoda, Kapten Penerbang dan Pengemudi Kendaraan Darat. Orang disini, bisa termasuk badan hukum (korporasi) atau orang lain yang melakukan delik penyertaan dengan Nakhoda, Kapten Penerbang dan pengemudi kendaraan darat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan hukum terhadap IB HRS dkk dengan mendasarkan pada PSBB maupun Prokes tidak pada tempatnya. Dalam berbagai kesempatan penulis sering menyatakan bahwa tidak ada norma hukum sanksi pidana dalam PSBB sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Demikian pula halnya dengan Prokes. Tegasnya, kerumunan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW tidak termasuk tindak pidana. Oleh karena tidak ada norma hukum sanksi pidana dalam PSBB dan Prokes dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, maka terhadap semua pasal yang didakwakan telah kehilangan objeknya.*