View Full Version
Selasa, 03 Aug 2021

Napak Tilas Perjuangan ke Penjara Kalisosok dan Masjid Kemayoran di Surabaya (Bagian-3)

Oleh: Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)

Penjara Kalisosok juga menyimpan cerita heroik. Oktober 1945, ketika berita kemerdekaan berhasil menyelinap masuk penjara, para tahanan pun membentuk 'Laskar Pendjara'. Pimpinan laskar ini adalah seorang tukang becak bernama Mayor Dollah.

Sebagaimana ditulis Bung Tomo dalam bukunya, Kisah Perang 10 November, yang terbit tahun 1950, pemberontakan dalam penjara ini berhasil menjebol tembok penjara sisi utara (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Pada saat perjuangan anti-fasisme, Penjara Kalisosok juga menjadi saksi penangkapan para aktivis anti-fasis seperti Pamudji, Sukayat, Sudarta, dan Asmunanto. Bahkan, tokoh utama gerakan anti-fasis saat itu, Amir Syarifuddin juga ditangkap dan dipenjara di sini.

Ketika Sekutu mendarat di Surabaya, Kalisosok menjadi saksi sejarah keberanian rakyat Surabaya melawan pasukan Inggris. Pada 26 Oktober 1965, pasukan Inggris dibawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang perwira Belanda, Kolonel Huiyer (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Di zaman Orde Baru, Penjara Kalisosok juga menjadi tempat ditahannya para tapol Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya. Banyak di antara mereka, sebelum dibuang ke Pulau Buru atau Nusakambangan, harus mendekam di Kalisosok. Mohammad Sholeh, Aktivis Pro Demokrasi di pengujung kekuasaan Orde Baru, pernah merasakan dinginnya lantai Kalisosok. Ia menjadi penghuni di penjara legendaris yang terkenal dengan tahanan politiknya selama 1,5 tahun (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018).

Di ruangan penjara berukuran 1,5x2,5 meter, nalar politik dan gerakan yang dibawanya tak luntur. Kebiasaannya membaca buku masih bisa disalurkan di dalam penjara. Ia termasuk beruntung masih bisa menempati Blok E Penjara Kalisosok. Di blok tersebut, ia tak dijadikan satu dengan kumpulan penghuni penjara lainnya. Sebab, ia termasuk tahanan politik, sehingga pengajuannya untuk menempati Blok E diizinkan oleh sipir penjara (Aan Haryono dalam sindonews.com, 28/1/2018)..

 

Jembatan Merah

Jembatan Merah dibentuk atas kesepakatan Pakubowono II dari Mataram dengan VOC sejak 11 November 1743. Dalam perjanjian disebutkan bahwa beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan ke VOC, termasuk Surabaya yang berada di bawah kolonialisme Belanda. Sejak saat itu, daerah Jembatan Merah menjadi kawasan komersial dan menjadi jalan satu-satunya yang menghubungkan Kalimas dan Gedung Residensi Surabaya. Dengan kata lain, Jembatan Merah merupakan fasilitator yang sangat penting pada era itu (eastjava.com)

Jembatan Merah berubah secara fisik sekitar tahun 1890an, ketika pagar pembatas diubah dari kayu menjadi besi. Saat ini, kondisi jembatan yang menghubungkan jalan Rajawali dan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya ini hampir sama seperti jembatan lainnya, dengan warna merah tertentu. Di sekitar jembatan, terdapat beberapa bangunan peninggalan Belanda lainnya yang masih difungsikan dan terletak di selatan Jembatan Merah. Selain itu, terdapat pula pusat perbelanjaan yang terkenal di Surabaya yaitu, Jembatan Merah Plaza (eastjava.com).

Jembatan Merah pernah menjadi saksi hidup dari tentara Indonesia, khususnya pahlawan-pahlawan Surabaya yang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Oleh karena itu, tidak peduli kondisi yang mungkin terjadi hari ini, Jembatan merah adalah warisan penting bagi sejarah Indonesia. Jembatan Merah merupakan pahlawan yang masih hidup dan akan terus hidup melawan waktu (eastjava.com).

 

Pelabuhan Lama Kalimas

Pelabuhan Rakyat Kalimas yang berada di Surabaya telah berdiri beberapa abad yang lalu. Ia lahir pada abad ke-14. Pada masa kini, pelabuhan ini bukan lagi menjadi pelabuhan utama sejak pelabuhan Tanjung Perak dibangun pemerintahan kolonial. Meskipun begitu, peran pelabuhan ini masih penting bagi para pelayar kecil di Surabaya. Pada masa lampau, kapal-kapal dagang berukuran besar hanya bisa berlalu di Selat Madura saja. Minimnya akses parit menuju kota Surabaya membuat kapal-kapal besar terpaksa menepi ke wilayah selat dekat Surabaya. Tongkang maupun kapal kecil kemudian akan menghampiri kapal besar tersebut dalam melakukan proses bongkar muat (jalurrempah.kemdikbud.go.id, 25/2/2021).

Setelah kapal-kapal tersebut memuat barang, mereka dengan gesitnya menelusuri Sungai Kalimas hingga mencapai pelabuhan utama Surabaya. Kala itu, Pelabuhan Rakyat Kalimas merupakan jantung perdagangan kota Surabaya. Suatu tempat di mana rempah hilir mudik ini juga meninggalkan beberapa jejaknya. Kapal-kapal pinisi berjajar rapi di pinggir dermaga. Buruh angkat dan awak kapal sibuk hilir mudik mengurusi proses bongkar muat. Maka tak heran mulai terlihat kanal-kanal sebagaimana banyak ditemukan di Negeri Tulip. (jalurrempah.kemdikbud.go.id, 25/2/2021).

 

Gedung Siola

Bangunan yang berada di area Jalan Tunjungan ini dahulunya adalah bekas dari berbagai jenis bangunan yang dialihfungsikan. Akan tetapi Pemerintah kota (PemKot) Surabaya kini sudah menetapkan fungsinya sebagai Museum Surabaya. Mengutip dari berbagai sumber, kisah mengenai Gedung Siola bermula pada 1877, yaitu ketika investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw  membangun gedung tersebut untuk dijadikan tempat bisnisnya. Saat itu, ia menamakan pusat perkulakan di gedung itu Het Engelsche Warenhuis. Ia bahkan sempat menjadi pengusaha tekstil terbesar saat itu dan memiliki usaha bernama Whiteaway Laidlaw (Wiwin Fitriyani dalam surabaya.liputan6.com, 28/8/2019).  .

Masa kejayaan keluarga Laidlaw berakhir di sektor perdagangan pada 1935.Ini terjadi setelah pemiliknya meninggal. Setelah Jepang masuk, gedung tersebut dibeli oleh pengusaha asal Jepang. Pengusaha itu mengubah nama gedung menjadi ’Toko Chiyoda’. Di toko itu, banyak yang menjual aneka tas dan juga koper. Saat itu, tas dan koper populer sehingga mendorong orang-orang untuk menjual barang tersebut.

Setelah Sekutu datang ke tanah Surabaya, Jepang tunduk kalah kepada Sekutu, lantas gedung menjadi kosong tak berpenghuni. Pada 1945, bangunan ini menjadi gedung pertahanan masyarakat Surabaya untuk menghindari serangan Sekutu yang datang dari utara, sehingga pantas disebut gedung perjuangan pemuda Surabaya (Wiwin Fitriyani dalam surabaya.liputan6.com, 28/8/2019). Bersambung...


latestnews

View Full Version