View Full Version
Selasa, 10 Aug 2021

HRS Dkk Tidak Terbukti Bersalah, Pengadilan Tinggi Harus Batalkan Putusan PN Jakarta Timur

 

Oleh:

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. || Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana
 

UNTUK menentukan adanya kesalahan seseorang, maka harus terpenuhinya beberapa unsur, salah satunya adalah adanya hubungan batin antara si pembuat (mens rea) dengan perbuatannya (actus reus) yang berupa kesengajaan (dolus/culpa). Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, keinginan/kehendak dalam melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan batin pembuat delik yang kemudian pikirannya mengarahkan dirinya untuk melakukan perbuatan tertentu.

Disini kesengajaan berkedudukan sebagai tanda konkrit adanya kesalahan. Kesengajaan seseorang merupakan inti perbuatan (animus homis est anima scripti). Dengan demikian, dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya dengan apa yang telah diperbuat.
 
Dalam putusan perkara RS UMMI, Judex Factie (in casu Pengadilan Negeri Jakarta Timur) tidak menguraikan seacara jelas tentang terjadinya hubungan batin dengan kesengajaan sebagaimana dimaksudkan. Penyiaran berita atau pemberitahuan tentang kondisi Habib Rizieq Syihab dalam keadaan sehat, baik yang disampaikan oleh dr. Anti Tatat, Habib Hanif Alatas maupun Habib Rizieq Syihab sendiri tidak dapat dikatakan sebagai menyiarkan berita atau pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Berita bohong dinilai memiliki makna sepanjang perbuatan tersebut telah memenuhi unsur adanya suatu kelakuan dan akibat yang ditimbulkan dari kelakuan tersebut.

Suatu akibat harus dirumuskan secara jelas dalam dakwaan dan tuntutan termasuk pula dalam pertimbangan hukum putusan Pengadilan, yaitu suatu kenyataan empirik yang ditimbulkan oleh sesuatu penyebab (causa). Disini berlaku hukum sebab akibat (kausalitas). Judex Factie tidak menguraikan terjadinya hubungan kausalitas antara pernyataan kesehatan tersebut sebagai causa yang paling dominan terjadinya keonaran di kalangan rakyat. Tidak pernah ditemui dalam persidangan adanya suatu fakta hubungan kausalitas antara perbuatan dengan timbulnya akibat sebagaimana dimaksudkan.
 
Pembentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana telah merumuskan bahwa perbuatan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sebagai tindak pidana menunjuk pada akibat timbulnya keonaran di kalangan rakyat. Oleh karena itu, penekanannya bukan dari kebohongannya, namun dari maksud/kehendak orang menyiarkannya. 

Tidak terdapat suatu fakta di persidangan yang menunjukkan adanya penggunaan pikiran Pembanding (in casu Habib Rizieq Syihab) guna mewujudkan terjadinya keonaran di kalangan rakyat. Dengan demikian tidak ditemui adanya wujud pikiran dan kehendak yang bersangkutan untuk mewujudkan terjadinya suatu akibat berupa keonaran di kalangan rakyat.
 
Pada kesengajaan terdapat dua hal yang menentukan adanya kesengajaan dalam perbuatan pidana yaitu ‘menghendaki dan mengetahui’ (willen en wetten). Unsur menghendaki berarti bahwa pelaku menghendaki terjadinya tindak pidana dan akibat dari dilakukannya tindak pidana tersebut. Adapun unsur mengetahui berarti bahwa pelaku mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan suatu hal yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan akan tetapi pelaku tetap melakukan tindak pidana tersebut.

Judex Factie telah salah/keliru dalam menerapkan kesengajaan dengan kemungkinan (dolus evantualis). Kesengajaan ini disebut opzet dengan syarat (voorwaardlijke opzet). Dalam hal ini, di samping terjadinya akibat yang menjadi tujuannya juga timbul akibat lain yang tidak menjadi tujuannya, yakni berupa kemungkinan timbulnya akibat lainnya. Dengan kata lain, terjadi kemungkinan akan timbulnya akibat yang lain, yang tidak menjadi tujuannya dan yang mungkin timbul dengan dilakukannya perbuatan tersebut.
 
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana hanya menyebutkan “keonaran di kalangan rakyat” sebagai satu-satunya akibat. Fakta juga menunjukkan tidak ada kemungkinan akibat yang selainnya. Dengan demikian, menjadi nyata kekeliruan Judex Factie dalam memahami kesengajaan dengan kemungkinan. Menurut doktrin bahwa dalam dolus eventualis haruslah ada “billigend in kauf nehmen” (menerima penuh resiko terwujudnya suatu kemungkinan). Pembanding sama sekali tidak termasuk dalam kriteria kesengajaan dengan kemungkinan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Judex Factie.

Dengan demikian tidak pada tempatnya pembebanan resiko terwujudnya suatu kemungkinan (in casu keonaran) dibebankan kepada Habib Rizieq Syihab. Terlebih lagi Judex Factie telah salah/keliru dalam menerapkan kesengajaan dengan kemungkinan yang terkait dengan delik penyertaan (deelneming aan strafbare feiten). Dalam delik penyertaan selalu terdapat perjumpaan kehendak diantara para pelaku dan oleh karena itu jenis kesengajaannya bercorak dengan maksud (als oogmerk).

Penyertaan lazim dilakukan secara sistematis dengan menunjuk adanya pemufakatan jahat (dolus premeditatus) diantara para pihak. Dengan demikian, dalam delik penyertaan bukan bercorak dengan kemungkinan. Menjadi jelas bahwa unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan penyertaan tidak terpenuhi. Oleh karenanya menjadi beralasan Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.*


latestnews

View Full Version