Oleh:
Ahmad Choirul Rofiq || Dosen IAIN Ponorogo
SETELAH mendapatkan banyak kritikan, Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas pada 25 Oktober 2021 mengklarifikasi pernyataannya tentang Kementerian Agama adalah hadiah untuk Nahdlatul Ulama. Ia mengatakan bahwa pernyataan yang disampaikan dalam forum internal NU itu sekadar memotivasi para santri dan pesantren NU.
Pernyataan yang malah menimbulkan kegaduhan itu kurang tepat dilontarkan oleh pejabat publik Kementerian Agama yang semestinya menciptakan keteduhan bagi seluruh ormas Islam. Apakah peristiwa itu berarti menyiratkan adanya rivalitas dalam merebut jabatan (kekuasaan) dan ketidakharmonisan internal di antara sesama umat Islam di Indonesia?
Pembentukan Kementerian Agama itu diperuntukkan bagi seluruh umat beragama. Mengutip artikel di Mimbar Agama Maret-April 1951 berjudul Sekitar Pembentukan Kementerian Agama RIS, Aboebakar Atjeh di dalam buku Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim halaman 926, 2015, menyebutkan bahwa Kementerian Agama bekerja menyelenggarakan hidup keagamaan setiap golongan agama yang berhubungan dengan negara, serta antara satu golongan agama dengan golongan agama lainnya.
Pada awalnya memang terdapat perdebatan mengenai perlu tidaknya departemen tersebut dibentuk secara tersendiri. Sebagai penganut agama mayoritas, tentu umat Islam sangat memerlukan keberadaan departemen khusus yang mengurusi persoalan keagamaan tersebut, walaupun kemudian terdapat perbedaan kepentingan yang memunculkan perselisihan dalam tubuh umat Islam. Kementerian Agama yang berdiri pada 3 Januari 1946 tersebut semenjak awal memang sudah tampak persaingan di antara ormas-ormas Islam dalam menduduki jabatan menteri agama. Dalam buku NU vis-a-vis Negara halaman 38-40 dan 44, (1999), Andree Feillard menulis bahwa H.M. Rasyidi, Menteri Agama pertama yang berasal dari Muhammadiyah, digantikan oleh menteri dari NU karena permintaan kaum Nahdliyyin itu.
Benih-benih pertikaian politik sesama Muslim Indonesia sebenarnya timbul ketika NU merasakan adanya dominasi kelompok “modernis” terhadap kelompok “tradisionalis” di Masyumi yang menjadi partai politik sejak November 1945. Bahkan Majelis Syura yang dipimpin ulama NU hanya berfungsi sebagai penasehat, sedangkan di tingkat badan eksekutif tinggal tersisa dua orang NU dari 14 anggota yang ada.
Perselisihan semakin menguat setelah Fakih Usman dari Muhammadiyah diangkat sebagai menteri agama pada bulan April 1952. Akhirnya NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik pada 1952. Akibatnya, kerugian dialami oleh umat Islam pada Pemilu 1955 yang dimenangkan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 22,3% suara. Sedangkan urutan kedua, ketiga, dan keempat ditempati Masyumi (20,9 %), NU (18,4 %), dan Partai Komunis Indonesia (16,4 %).
Ketidaksepahaman sikap politik bertambah meruncing tatkala diberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), halaman 45-47, 74-77 dan 98-105 (1996), Demokrasi Terpimpin yang identik dengan penerapan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) merupakan sistem politik dengan baju demokrasi, tetapi minus demokrasi.
Mohammad Natsir (pemimpin Masyumi) mengatakan bahwa segala-galanya ada di dalam Demokrasi Terpimpin, kecuali demokrasi. Sedangkan Sutan Takdir Alisjahbana (tokoh PSI yang sempat menyingkir ke Malaysia) menulis bahwa kedudukan Soekarno sebagai presiden dan Pimpinan Besar Revolusi Indonesia yang tergenggam di tangannya kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hanyalah berbeda sedikit dengan raja-raja absolut masa lampau. Lebih tegas lagi, Masyumi memandang Demokrasi Terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa sehingga Masyumi yang menjadi cagar demokrasi itu mengalami kehancuran bersama idealisme martirnya.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, setiap pihak yang menentang Nasakom dinilai sebagai anti Pancasila dan anti UUD ‘45. Pada 17 Agustus 1961 Soekarno berkata, “Siapa yang setuju kepada Pancasila harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Pancasila. Sekarang saya tambah, siapa yang setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45 harus setuju kepada Nasakom; siapa yang tidak setuju kepada Nasakom, sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar ’45.”
Saat itu NU memilih berada di kubu Soekarno dan menerima pemberlakuan formula Nasakom sehingga tidak mengherankan jika jabatan menteri agama dipegang sepenuhnya oleh kelompok NU sepanjang Orde Lama. Sebaliknya Masyumi menanggung derita karena beroposisi kepada Soekarno. Di antara aktivis-aktivis Masyumi yang ditangkap ialah Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshary, Yunan Nasution, HAMKA, Ghazali Sjahlan, dan Jusuf Wibisono. Mereka itu dituduh sebagai kelompok kontra revolusi yang anti Nasakom serta tidak setia kepada Pancasila dan UUD 1945. NU tidak berdaya menghalangi tindakan pemerintah tersebut. Iklim ukhuwwah Islamiyyah saat itu sungguh menyedihkan. Kondisi keterbelahan umat Islam itu justru sangat menggembirakan pihak-pihak yang berideologi non-Islam.
Adapun Muhammadiyah juga melunakkan sikapnya demi keberlangsungan organisasi di hadapan kekuasaan penguasa Demokrasi Terpimpin itu dengan menyebut Soekarno sebagai Pengayom Agung Muhammadiyah, meski sebagian kelompok Muhammadiyah kemudian merasa menyesalinya setelah Soekarno terang-terangan menyatakan dirinya sebagai seorang Marxis, sebagaimana disebutkan dalam buku 1 Abad Muhamadiyah: Gagasan Pembaruan Sosial Keagamaan, halaman 209-213 dan 225-227 (2010). Saat itu KH. A. Badawi ditugaskan oleh Muktamar ke-36 untuk membentuk susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada 18 September 1965 KH. A. Badawi, Djarnawi Hadikusuma, dan Djindar Tamimy diterima presiden di Istana Bogor. Kemudian di dalam daftar susunan pimpinan Muhammadiyah itu tertulis bahwa Soekarno sebagai Pengayom Agung Muhammadiyah.
Tumbangnya Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpinnya mengawali kekuasaan Indonesia di tangan Soeharto yang tidak menyetujui rehabilitasi Masyumi setelah dibubarkan Soekarno dan menolak didirikannya kembali organisasi tersebut. Pemerintah Orde Baru hanya menyetujui pembentukan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 7 April 1967. Parmusi dianggap sebagai wadah politik Muslim modernis, termasuk Muhammadiyah, untuk mengimbangi partai NU, Perti dan terutama PNI.
Namun Muhammadiyah kemudian mencetuskan khittahnya dalam Sidang Tanwir Ponorogo 1969 yang menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam dalam bidang kemasyarakatan dan keagamaan, bukan dalam lapangan politik praktis. Khittah itu ditegaskan lagi dalam Muktamar ke-38 tahun 1971 di Ujung Pandang dengan keputusan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah Islam yang beramal dalam bidang kemasyarakatan serta tidak mempunyai hubungan organisatoris ataupun berafiliasi dengan partai politik manapun.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, keadaan umat Islam (baik NU maupun Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia) tidak jauh berbeda dengan saat masa pemerintahan Orde Lama. Menurut Irfan Tamwifi (dalam Islam dan Kegagalan Demokrasi: Menelusuri Jejak Politik Indonesia hingga Penghujung Era Orde Baru), halaman 371-374 dan 386-389, (2014) sekalipun Islam memberikan dukungan besar terhadap penumpasan PKI, namun keberadaannya sebagai ideologi politik tidak diakomodir. Pemerintah Orde Baru menganggap Islam sebagai ideologi primordial yang berpotensi menimbulkan instabilitas sehingga secara sistematis diterapkan tindakan deideologisasi Islam dan pengebirian partai Islam. Ali Murtopo dengan kelompok CSIS (Center of Strategic and International Studies) memainkan peran besar dalam kebijakan politik awal Orde Baru.
Meskipun jabatan Kementerian Agama lebih banyak didominasi orang-orang dari Golkar, ternyata yang menjabat sebagai menteri agama di awal Orde Baru adalah Muhammad Dahlan dari NU. Adapun setelah keberhasilan gerakan reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru, jabatan menteri agama lebih banyak dipegang NU daripada Muhammadiyah. Oleh karena itu, sangat tidak tepat saat dikatakan bahwa Kementerian Agama adalah hadiah negara bagi NU semata.
Demikian pula, bila dimunculkan opini agitatif yang mengatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan sedikitpun memegang jabatan di Kementerian Agama maupun Majelis Ulama Indonesia selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, sedangkan data mengenai daftar pimpinan kedua lembaga tersebut beserta afiliasi keormasannya dapat ditemukan dengan mudah di berbagai sumber informasi. Selain itu, fakta sejarah menunjukkan adanya kedekatan sebagian tokoh NU dengan pejabat tinggi di era Orde Baru yang mempunyai hubungan mutualisme di antara mereka.
Akhirnya, kita mengharapkan Muslimin Indonesia mengutamakan kemaslahatan agama Islam daripada kepentingan satu ormas Islam saja. Luka-luka lama yang disulut perselisihan persoalan khilafiyah furu’iyah (perbedaan kecil dalam masalah keislaman) tidak perlu dibuka lagi. Semua ormas Islam yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia seharusnya mempererat jalinan ukhuwwah Islamiyah dengan senantiasa berpedoman pada prinsip musyawarah mufakat.
Terkhusus buat NU dan Muhammadiyah, kedua sayap utama moderasi Islam Indonesia yang memiliki jumlah massa terbesar dan menjadi incaran suara setiap ajang Pemilu itu wajib mewaspadai politik belah bambu yang biasanya dilakukan penguasa demi keuntungan politiknya. Ormas-ormas Islam Indonesia seyogyanya selalu konsisten berlomba dalam berbuat kebaikan (fastabiqul khairat) demi kepentingan umat Islam, kemakmuran rakyat Indonesia, dan kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka sebaiknya menghindari sikap saling “sikut-sikutan” untuk meraih jabatan dan “memonopoli” kekuasaan bagi golongan maupun ormas tertentu saja. Wallahu a’lam bish-shawab.*