View Full Version
Senin, 21 Feb 2022

Buku Tokoh-Tokoh Islam Ini, Sayang Bila Dilewatkan

BUKU baru karya Nuim Hidayat ini patut dikaji secara seksama. Buku ini menceritakan tentang 13 tokoh Islam yang mewarnai Indonesia di awal-awal kemerdekaan. Tokoh-tokoh yang ditulis dengan gaya bahasa yang menarik itu adalah : Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Hamka dan lain-lain.

Banyak informasi baru yang menarik yang ditampilkan buku ini. Anak-anak muda yang biasa menggali informasi dari internet, akan memperoleh limpahan informasi dari buku ini. Buku ini bersumberkan pada buku-buku sejarah baik yang lama maupun baru.

Tentang Tjokroaminoto misalnya, Dosen Akademi Dakwah Indonesia Depok ini menulis,

“Tjokro memang hebat. Bersama Samanhoedi, ia merawat dan membesarkan Sarekat Islam (SI) yang berdiri di Solo 1912.. Empat tahun setelah didirikan, perserikatan itu memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota, 20 kali lipat dari jumlah awalnya.

Berbeda dengan Boedi Oetomo, pergerakan kebangsaan yang elitis dan khusus orang Jawa, Sarekat Islam anggotanya ‘seluruh Nusantara’ dan meniadakan hirarki Jawa-Belanda atau bangsawan dan rakyat biasa. Pemimpin-pemimpin SI duduk sejajar dengan pejabat Belanda, sambil menyerukan bahwa kaum Pribumi sama-sama manusia seperti orang Belanda. Pada saat itu pribumi dijuluki Belanda sebagai “seperempat manusia”.

Dengan adanya SI, rakyat biasa seperti memiliki identitas baru. Mereka sangat antusias ketika kongres SI pertama diadakan di Solo, 1913. “Pukul setengah enam sore di stadium NIS, Balapan Solo, orang-orang berdesakan. Mereka menumpang kereta api yang baru tiba dan penjemputnya. Berpuluh-puluh andong, semua berbendera dengan tulisan SI, penanda kereta kuda itu telah disewa perkumpulan Sarekat Islam. Orang yang bukan anggota SI dan tidak dijemput kendaraan terpaksa berjalan kaki. Tidak ada satu andong pun yang tidak berbendera SI. Di situ semua orang Islam menunjukkan sepakatnya hati seorang dengan yang lainnya. Di jalan-jalan semua anggota SI menunjukkan kesenangannya. Semua kereta SI menuju Kampung Kabangan, tempat vergadering Bestuur –kongres- digelar.”

Tentang KH Ahmad Dahlan, pengajar pesantren at Taqwa Depok ini diantaranya menulis,

“Masuknya Kiyai Dahlan ke Budi Utomo, karena ia ingin mewarnai gerakan itu dengan Islam. Ia ingin organisasi itu lebih dekat kepada umat Islam, dari pada pemerintah Belanda. Maka dalam beberapa kali pertemuan dengan pengurus Budi Utomo, ia memasukkan sedikit demi sedikit pengertian tentang Islam. Ia juga memasukkan materi agama Islam sebagai pelajaran tambahan kepada para siswa di Kweekschool (dahulu disebut Sekolah Raja) di Jetis Yogyakarta. Raden Budiharja yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sekolah Kweekschool menerima dengan baik gagasan Kiyai Dahlan itu. Maka sejak saat itu, pelajaran agama Islam menjadi salah satu materi pelajaran di sekolah umum.

Selain menjadi anggota dan pengurus Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan juga menjadi anggota dan penasihat Jamiah Khairiyah Jakarta dan anggota Panitia Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pengalamannya dalam organisasi dan silaturahmi dengan banyak ulama dan tokoh, menjadikan Kiyai Dahlan semakin matang dalam kehidupan. Ia kemudian mempunyai gagasan untuk membuat organisasi besar sebagai kendaraan bagi umat Islam Indonesia.

Untuk mewujudkan gagasannya ini ia berdialog dengan banyak ulama, para pemuda dan santrinya. Ia menyatakan bahwa organisasi ini akan dinamai Muhammadiyah yang artinya pengikut Nabi Muhammad saw. Kiyai Dahlan juga mengajak beberapa anggota Budi Utomo untuk menjadi pengurus Muhammadiyah. Diantara yang sanggup untuk bergabung adalah Raden Haji Syarkawi, H Abdulghani, HM Syuja’, HM Hisyam, HM Fakhurudin dan HM Tamim. Seluruhnya warga Kauman.”

Tentang KH Hasyim Asyari, penulis buku Agar Bata Menjadi Rumah Yang Indah ini menceritakan,

“Mulailah Hasyim belajar mencari ilmu di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Kademangan di Bangkalan (Madura). Di pesantren-pesantren itu, Hasyim dikenal sebagai santri yang cerdas, pemberani dan hormat pada guru-gurunya.

Hingga suatu kali ada kejadian yang menggemparkan. Yaitu suatu hari, cincin dari Nyai Kholil –istri Kiyai Kholil Kademangan- jatuh di tempat kotoran manusia yang menjijikkan. Tidak seorang santripun berani untuk mengambilnya, karena jijik, kotor dan najis. Hanya Hasyim yang berani turun untuk mencarinya. Kawan-kawannya memperingatkan dan mencemoohnya tapi Hasyim tidak peduli. Setelah lama-lama mengobok-obok tempat itu, akhinya Hasyim menemukannya. Cincin itu dibersihkannya dan kemudian diserakannya kepada Nyai Kholil.

Setelah melanglang buana ke beberapa pesantren, Hasyim akhirnya kembali ke Pesantren Gedang. Tapi tidak lama mengajar di tempat ayahnya itu, ia kembali ingin mencari ilmu di tempat yang jauh. Kali ini kakeknya menunjukkannya ke Demak, Pondok Pesantren Darat milik KH Saleh Darat.”

Tentang KH Wahid Hasyim, Nuim Hidayat menulis,

“Kami mendengar Gus Wahid akan diangkat menjadi menteri, bagaimana itu? tanya seseorang. “Wa maa tadri maadzaa taksibu ghodan…” orang bisa beramal banyak dan bermanfaat di mana saja, sekalipun tidak menjadi menteri. Kebanyakan orang menganggap jabatan menteri itu kehormatan dan kemuliaan, padahal itu tak lebih dari sekadar amanat yang harus dipertanggungjawabkan,”kata Gus Wahid.

Ya. Gus Wahid, Wahid Hasyim menganggap jabatan menteri agama adalah amanat yang berat. Bukan untuk gengsi-gengsian atau pamer jabatan.

Dalam pesannya kepada generasi muda, Hasyim menyatakan,“Perjuangan bersenjata melawan Belanda akan segera berakhir hanya memerlukan beberapa tahun saja, dan kita akan menang, insya Allah. Tetapi perjuangan yang lebih lama dari itu adalah perjuangan politik, ekonomi, kebudayaan, dan pembangunan akhlak. Perjuangan itu akan berlangsung lama, memerlukan kebijaksanaan dan kesabaran.” (Lihat jejakislam.net)”

Tentang Haji Agus Salim, penulis kolom suaraislam.id ini menceritakan,

“Kuliah di Cornell University berlangsung antara Januari sampai dengan Juni 1959. Ada 31 topik perkuliahan yang diberikan, diawali kuliah tentang Rukun Iman dan Rukun Islam, diakhiri dengan pembahasan periode Nabi Muhammadi di Madinah (622-632M).

Selama hidupnya, karena ketekunannya Salim berhasil menguasai banyak bahasa asing, diantaranya : Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman. Karena kepintarannya, Salim akhirnya diangkat menjadi penerjemah Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi. Di Saudi, terutama di Mekkah, ia mendalami ilmu agama dengan pamannya Syekh Ahmad Khatib, yang saat itu juga menjadi imam di Masjidil Haram.

Salim pernah kerja di birokrasi pemerintah Belanda, tapi beberapa saat kemudian ia keluar. Ia juga pernah kembali ke kampungnya mendirikan sekolah di sana, selama lebih kurang tiga tahun. Tapi ia tidak betah di kampung dan akhirnya kembali ke kota di Jawa. Oleh komisaris besar polisi pemerintahan Belanda, Salim diutus untuk memata-matai gerakan Sarekat Islam dan Tjokroaminoto. Bukannya menyelidiki, malah ia akhirnya berteman akrab dengan Tjokro dan bergabung ke SI.

Setelah itu Salim terjun ke dunia jurnalistik (1915). Di Harian Neratja ia menjabat sebagai redaktur. Ia kemudian berpindah dan menjadi pemimpin redaksi di harian Hindia Baroe di Jakarta. Ia juga pernah mendirikan surat kabar Fadjar Asia.

Salim makin menonjol ketika menjadi salah satu pengurus besar Sarekat Islam. Ia sering diidentikkan dengan Tjokroaminoto, sebagai dwitunggal dalam pergerakan SI.”

Tentang Mohammad Natsir, penulis buku Sayid Qutb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya ini menceritakan,

“Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan: ”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir Al Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Review dalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.

Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”

Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya. Ia tidak aji mumpung memanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang. “Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.”

Walhasil, buku ini sayang bila dilewatkan. Para dosen, mahasiswa, aktivis, orang tua dan santri sayang bila tidak menyimak buku ini. Buku ini bisa menjadi panduan bagi anak-anak muda untuk memahami pahlawannya. Memahami tokoh-tokoh Islam yang melukis tanah air kita.

Bagi yang berminat buku ini, untuk melakukan pre order dengan harga Rp65ribu (belum termasuk ongkos kirim). Silakan hubungi: ke 0812-1314-0304. *


latestnews

View Full Version