Oleh:
Asyari Usman || Jurnalis Senior
TERLEPAS dari masalah subsidi atau persoalan-persoalan lain, krisis minyak goreng (migor) menyentakkan kita semua bahwa “food security” (ketahanan pangan) Indonesia tidak ada sama sekali. Nol besar. Minyak goreng adalah salah satu makanan pokok yang gampang dibuat di negeri ini. Tapi, ternyata migor bisa dijadikan salah satu komoditas yang melumpuhkan masyarakat.
Krisis migor terjadi karena tiga hal. Pertama, pemerintah tidak menangani sebab. Mereka selalu sibuk dengan akibat. Apa saja yang terjadi, selalu yang diurus akibat.
Dalam hal migor, penyebab krisis belakangan ini adalah ketiadaan peranan negara dalam menjamin komoditas yang sangat strategis ini. Pemerintah seharusnya menugaskan BUMN perkebunan untuk memproduksi migor. PTPN bisa melakukan itu dengan gampang. Membuat migor tidak memerlukan teknologi canggih.
Kedua, pemerintah Presiden Jokowi terbelenggu oleh obsesi proyek-proyek besar yang tidak atau belum diperlukan oleh rakyat secara luas. Jokowi terlalu ambisius. Dia ingin disebut sebagai presiden yang melakukan pekerjaan hebat. Padahal, di balik semua pekerjaan besar itu menumpuk utang yang sangat meresahkan.
Ketiga, pemerintah terlalu ‘lenient’ (lunak) terhadap perusahaan-perusahaan raksasa yang berkebun sawit. Semua mereka itu rakus. Hanya memikirkan keuntungan sendiri. Mereka lebih senang mengekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil atau CPO). Bisa dipahami. Karena transaksinya mengikuti harga internasional. Keuntungan yang mereka peroleh jauh lebih besar dibandingkan menjual CPO ke pabrik migor dalam negeri.
Selain tiga faktor ini, Pemerintah cenderung membiarkan saja para produsen CPO mendiktekan kehendak mereka. Sekarang, regulasi CPO malah dihapuskan. Para konglomerat jahat akan semakin brutal. Rakyat kecil bakalan menderita. Kewajiban menjual 30% untuk pasar domestik (DMO, domestic market obligation) tidak ada lagi. Ini semua gara-gara kerakusan produsen CPO.
Kerakusan itu tidak boleh dibiarkan. Pemerintah perlu memikirkan strategi jangka panjang agar migor tidak seratus persen dikendalikan oleh pasar bebas.
Inilah penyebab krisis yang terjadi sekarang. Kalangan produsen berada pada posisi yang sangat kuat. Sampai-sampai Menteri Perdagangan tidak bisa berbuat apa-apa.
Ada satu contoh tentang kekuatan produsen migor. Di Sumatera Utara, polisi menemukan timbunan migor sebanyak 1.1 juta liter. Polisi langsung mengetahui bahwa migor itu adalah milik PT Salim Ivomas Pratama, anak perusahaan PT Indofood Sukses Makmur, yang berada di bawah Salim Group milik Anthony Salim.
Polda Sumut terkesan tak berani mengusut timbunan minyak itu, Polisi menggunakan bahasa yang sangat sopan. Mereka mengatakan akan “mengundang” pemilik gudang untuk memberikan klarifikasi di Markas Polda.
Di tempat-tempat lain dengan temuan ribuan atau puluhan ribu liter di level eceran, kepolisian menggunakan bahasa “gerebek”, “dijadikan tersangka”, dlsb. Tidak sesantun dan selunak menghadapi Salim Group.
Krisis minyak goreng tidak boleh terulang lagi. Semua pemangku kepentingan publik harus membicarakan ketahanan pangan (food security) nasional, termasuk migor. Ini sangat krusial. Sebab, kedaulatan sebuah negara bisa diinjak dengan mudah oleh elit bisnis (oligarki bisnis). Jika oligarki bisnis saja bisa menguasai negara, konon pula kekuatan asing yang jauh lebih lengkap dalam melakukan invasi keras (dengan senjata militer) maupun invasi lunak (dengan senjata binis).
Banyak yang berpendapat krisis besar seperti yang melanda migor ini sebetulnya berpangkal dari krisis kepemimpinan nasional. Krisis ‘leadership’ di Istana.
Terlihat Presiden Jokowi tidak peduli, atau mungkin juga tidak paham, soal ketahanan pangan. Padahal, Presiden wajib menjaga ketat ketahanan pangan rakyatnya agar tidak disandera oleh para pengusaha besar dan konglomerat jahat. Krisis minyak goreng ini seharusnya menjadi pelajaran.*