Oleh:
Yons Achmad || Praktisi Komunikasi, tinggal di Depok
PEMILU masih jauh. Tapi, politik kotor sudah muncul. Kali ini, serangan ditujukan ke Anies Baswedan. Salah satu kandidat potensial capres 2024. Gagal melakukan kampanye pembusukan di event Formula E, kini gencar melakukan kampanye berbau fitnah yang benar-benar tidak sehat. Apakah ini dilakukan oleh barisan sakit hati di pilkada DKI tahu lalu? Entahlah. Yang pasti, berkat Anies menang di pilkada DKI, reklamasi yang bakal hadirkan hunian baru berupa banyak apartemen dan pertokoan distop, tak berlanjut.
Kini, kampanye berbau fitnah, dalam istilah yang disampaikan Guru Besar UMS, Prof. Aidul Firiciada sebagai kampanye menjual atau mempromosikan ketakutan (fear mongering) dihadirkan kembali. Kampanye sendiri, menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, diartikan sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program peserta pemilu. Pada dasarnya kegiatan kampanye dilandasi oleh prinsip persuasi, yaitu mengajak dan mendorong publik untuk menerima atau melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan. Melihat definisi demikian, pembusukan politik berbau fitnah bukan bagian dari kampanye politik.
Kasus nyatanya seperti apa sih? Dari pengamatan sepintas. Ada tiga kasus yang muncul secara berurutan setelah kampanye pembusukan Anies di event Formula E gagal total. Kali ini, berusaha menggunakan strategi “Nabok nyilih tangan”. Memakai tangan orang lain, atau orang yang sengaja dipakai untuk menghancurkan Anies. Tak tanggung-tanggung, catut ormas yang sudah dibubarkan Jokowi seperti FPI dan HTI. Ada kasus FPI Reborn yang dukung Anies padahal itu FPI palsu, Deklarasi dukung Anies di hotel Bidakara, Jakarta yang aktornya mengaku mantan HTI dan FPI padahal mantan tim sukses “01” pada pilpres tahun lalu dan pendukung Ahok jadi komisaris BUMN, kasus ini konon sempat diwarnai pengibaran bendera “Tauhid”. Terakhir dukungan Gema Pembebasan, sayap HTI yang ternyata juga palsu. Sungguh, sebuah kotradiksi. Maunya apa orang-orang ini. Intinya apa? opini dihembuskan, Anies didukung ormas terlarang FPI, HTI, pro khilafah dst.
Saya melihat fakta demikian pemandangan politik yang tidak sehat. Pilpres masih jauh saja, cara-cara kotor demikian sudah dipakai. Maka, tak menutup kemungkinan cara-cara yang lebih brutal lagi bakal dihadirkan. Ada yang menganggap ini permainan opini publik. Tapi saya kira bukan begini caranya. Opini publik merefleksikan proses dinamis di mana ide-de diekspresikan.
Memang, dalam praktik komunikasi kontemporer, para praktisi public relations merasa sah menggalang atau merekayasa opini publik (reingering of public opinion). Termasuk menyusun agenda setting, menyusun skenario mengangkat topik tertentu sebagai bahan publikasi. Tapi, ketika itu sudah berbau fitnah, maka tentu saja jelas melanggar etika komunikasi (PR).
Sebagai warga negara yang baik, tentu saja tak bisa melarang para kandidat presiden berkampanye lebih awal, termasuk mengerahkan relawan dan buzzer-buzzer politiknya lebih awal pula. Tapi, cara-cara yang lebih elegan, bijak dan beretika meski dikedepankan. Mungkin ada yang bilang ini usulan terlalu normatif dan naif dalam politik. Tapi, saya kira publik harus terus mendorong iklim politik yang lebih sehat dan mencerdaskan.
Kita, sebagai publik, warga negara yang melek media, melek politik, melek medsos. Harus berani speak up, katakan tidak untuk kampanye-kampanye palsu yang berbau fitnah semacam ini. Kalau ternyata masih terjadi, percayalah, Anies Baswedan, semakin diserang, malah justru semakin besar. Publik tidak bakal bersimpati dengan kampanye kotor, berbau fitnah dan menghalalkan cara semacam ini, percayalah!*