Oleh: Ahsan Hakim
"Suatu ketika," kisah Nabi Saw. di hadapan para sahabat, "ada seseorang yang tidak pernah melakukan suatu kebaikan pun semasa hidupnya, berpesan kepada keluarganya. Jika dia meninggal dunia, maka bakarlah jasadnya. Lantas, taburkanlah separuh darinya di atas tanah, sedangkan separuhnya lagi di atas lautan..."
Ketika seseorang itu meninggal dunia, seluruh anggota keluarganya melaksanakan pesan tersebut. Jasad orang itu dibakar, untuk kemudian abunya dipilah dua dan disebar di dua tempat berbeda.
Allah Swt. kemudian memerintahkan daratan dan lautan untuk mengumpulkan semua abu jasad seseorang tersebut.
Allah swt. lalu memanggilnya, dan bertanya, "Mengapa kamu melakukan hal itu?"
Seseorang itu menjawab, "Karena aku takut kepada-Mu, ya Tuhanku dan Engkau sungguh Mahamengetahui."
Atas jawaban itu, Allah lantas mengampuni dosa-dosanya karena rasa takut hamba-Nya itu. Dengan begitu, kekhilafannya yang mengira jasadnya tidak akan mungkin terkumpul lagi menjadi satu juga menjadi diampuni Allah Swt.
Saya kok berbaik sangka, kesalahan (jika benar-benar disebut kesalahan) metode hisab, ia tidak separah kesalahan seseorang yang dikisahkan dalam hadis riwayat Imam Muslim di atas. Selama ada ketulusan untuk beribadah secara benar menurut Allah dan rasul-Nya (setelah berikhtiar memilih pendapat yang paling benar), rasa-rasanya pengampunan Allah sangatlah luas.
Dalil-dalil tentang penentuan awal-akhir puasa memang banyak dipaparkan melalui aktivitas rukyah. Jika saja tidak ada hadis yang menjelaskan ke-ummi-an Nabi dan mayoritas umat pada zaman itu (tidak bisa menulis dan menghitung), maka mudah saja memastikan metode menentukan awal-akhir puasa hanya dengan rukyah.
Faktanya penanggalan zaman itu memang sangat sederhana: bilangan tahun belum ada (baru ditetapkan pada zaman khalifah Umar bin Khaththab ra. setelah terjadi kasus administrasi surat menyurat yang membingungkan), diikuti dengan menentukan pergantian bulan dengan cara yang masih sederhana (melihat hilal).
Belum selesai sampai di situ, ketika keterbatasan teknologi untuk berkomunikasi antar wilayah yang terlampau luas, lahirlah konsep mathla'. Ukuran mathla'-pun kemudian berkembang, hingga saat ini batasannya menyesuaikan batas-batas negara bekas pembagian wilayah imperialisme. Blas tidak ada dalilnya.
Ketika kemudian melihat dalil-dalil yang menjelaskan peredaran matahari dan bulan yang ternyata konstan, lalu melihat perkembangan umat Islam yang semakin maju penguasaannya dalam hal menulis dan menghitung (hisab), akankah mereka harus dikembalikan keadaannya menjadi ummi? Semua orang pasti bersepakat tidak. Maka harusnya penanggalan secara global bisa dilakukan dan disepakati melalui metode hisab (kecuali bagi yang memahami bahwa rukyah sifatnya ta'abbudi, sehingga tidak bisa diganggu gugat).
Hanya, riskannya jika keperluan administrasi dan ibadah itu dibedakan, artinya penanggalan memakai metode hisab sedangkan ibadahnya mengacu rukyah (dan ini sudah ada negara yang memberlakukan), sangat mungkin terjadi hilal tidak terlihat (entah karena tertutup awan atau memang belum tampak) saat penanggalan sudah ditentukan berganti, lalu ditanya, "Kamu lebaran kapan?" Lalu dijawab, "Karena hilal belum terlihat, maka saya lebaran tanggal 2 Syawal." Maksudnya 2 Syawal penanggalan administratif. Terdengar lucu, tapi ya sudahlah jika memang harus begitu.
Mengacu pada kisah di awal, masalahnya bukan soal siapa yang lebih unggul dalam berdebat soal rukyah dan hisab (sebab itu wilayah ijtihadiyah), tapi apakah dalam berdebat itu mereka tulus mencari kebenaran? Dan apakah ketika memilih salah satu metode itu, hanyalah didasari fanatisme golongan ataukah sebaliknya, adanya rasa takut sehingga sebisa mungkin memilih pendapat yang probabilitas kebenarannya sesuai apa yang Allah dan rasul-Nya harapkan? Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google