Oleh: Ameena N
Sampai saat ini, ungkapan kebencian terhadap Rohingya semakin menjadi-jadi akibat perilaku-perilaku pengungsi Rohingya yang dianggap ‘kurang etika’, ‘sembarangan’, ‘tidak tahu diri’. Ujaran kebencian yang beragam, dari yang hanya berbentuk sarkas sampai yang bar-bar seperti membakar pengungsi Rohingya, membunuh, dan lain-lain. Kebencian masyarakat Indonesia terhadap pengungsi Rohingya menyebar dengan sangat cepat berkat sosial media yang bukannya informatif namun provokatif.
Berita tentang Rohingya banyak sekali yang kurang benar, khususnya tentang bagaimana brutalnya mereka di pengungsian. Berita-berita tersebut seringkali berasal dari sosial media dan didapatkan dari para pemengaruh (influencer) di sosial media (khususnya TikTok dan Instagram) yang kurang bertanggung jawab atas apa yang mereka informasikan. Karena ternyata, setelah diperiksa ulang kebenarannya, faktanya tidaklah seperti yang diprovokasikan. Namun, informasi palsu tersebut sudah terlanjur ditelan dan disimpulkan oleh masyarakat.
Seperti contoh kejadian di Rusunawa Jemundo. Sebelumnya, Rohingya terduga sebagai pelaku perusakan kantor manajemen Apartemen Sederhana (Aparna). Berita ini menghebohkan masyarakat dengan melampiaskan banyak sekali kecaman, padahal berita tersebut belum bisa dipastikan. Apakah benar pengungsi Rohingya yang membuat kerusakan?
Karena di Rusunawa Puspa Agro desa Jemundo tersebut ada 297 orang pengungsi dari berbagai negara seperti Afghanistan, Somalia, Nigeria, Iran, Irak, India, Pantai Gading, Siera Leone, hingga Kamerun. Dan baru-baru ini dugaan tersebut telah dipastikan salah karena ternyata pelakunya bukanlah pengungsi Rohingya namun pengungsi lain. Namun sampai sekarang, walau sudah ada klarifikasi, warga net yang sudah terlanjur menelan informasi provokasi tak dapat menerima kebenaran apa pun dan terus menyebarkan kebenciannya.
Belum lagi provokasi mengenai mereka yang dianggap seperti Israel karena ingin merenggut negara Indonesia sebagaimana yang dilakukan oleh Israel pada Palestina. Provokasi yang berlebihan dan asalnya pun dari berita palsu yang tujuannya hanya untuk mengadu domba antara warga Indonesia dan pengungsi Rohingya. Keadaan ini sangat menyedihkan mengingat semua berita palsu dan informasi provokasi tersebut asalnya dari orang-orang kita sendiri.
Rohingya tidak tahu diri
Rohingya membuang nasi bungkus yang diberikan oleh warga Aceh lengkap dengan lauknya di sela-sela pohon yang ada di pinggiran pantai. Mereka membuang nasi tersebut dengan alasan bahwa mereka menyukai makanan pedas. Sangat bisa dipahami mengapa warga Aceh sekaligus warganet sebal dan menganggap bahwa pengungsi Rohingya tidak tahu diri dan terima kasih.
Namun, apakah mereka sebegitu pantasnya mendapatkan nada kebencian seperti pembunuhan dan pembakaran? Walau mungkin itu hanya sebuah candaan tetap saja, itu menyakitkan untuk diketahui.
Pengungsi Rohingya, sekumpulan manusia luntang-lantung, dekil, terbelakang, tidak berpendidikan, sebenarnya kita mengharapkan apa? Mereka paham etika? Mereka punya sopan santun dan tahu diri? Itu hal yang mewah sekaligus bagi pengungsi Rohingya. Itulah mengapa kita sering mengukur ilmu seseorang dari bagaimana dia berpikir dan berperilaku. Ada manusia yang tinggi ilmunya, namun rendah adabnya. Apalagi yang tidak berilmu. Alih-alih memikirkan ilmu, mereka bahkan tidak tahu besok makan atau tidak, mau tinggal di mana, masih hidup atau tidak.
Sama sekali tidak membenarkan mengenai perilaku kurang pantas yang sudah pengungsi Rohingya lakukan, namun fakta bahwa hidup mereka terlalu tidak nyaman untuk memikirkan pendidikan adalah hal yang juga patut kita beri simpati. Walau sudah nyaman di pengungsian pun mereka sulit mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang layak dikarenakan status hukum yang tidak jelas. Bahkan tak sedikit dari mereka yang harus menjadi pekerja gelap di negara-negara orang yang mana resikonya adalah eksploitasi, jeratan utang, dan pekerjaan berbahaya. Dan dari semua lika-liku pahit kehidupan yang sedang mereka hadapi, ada mulut-mulut yang tidak bertanggung jawab dengan menuduh mereka sebagai orang-orang yang sengaja tidak mau bekerja.
Di pengungsian di Bangladesh misalnya, pembakaran, penculikan, perdagangan manusia, narkoba, dan perkelahian tercatat sebagai kejahatan yang paling umum terjadi di kamp tersebut. Bagi mereka hidup mereka di kamp tersebut sama sekali tidak lebih baik dengan yang mereka hadapi di Myanmar. Oleh sebab itu, mereka kembali berlayar mencari tempat berlindung yang lebih baik, namun sepertinya itu masih sulit untuk diwujudkan.
Jalan keluar
Berhubungan dengan negara-negara Asia yang kini beramai-ramai menolak pengungsi Rohingya, khususnya Malaysia dan Indonesia, sudah saatnya pemerintahan Myanmar turun tangan akan hal ini. Karena bagaimana pun juga, ujung-ujungnya nanti, mereka akan kembali ke tanah air mereka. Jadi, repatriasi adalah solusi terbaik yang bisa dipikirkan untuk saat ini. Kembalikan pengungsi Rohingya ke tanah yang sudah mereka tinggali sejak abad 7 Masehi. Dalam rencana ini, perlu andil dari PBB dan Indonesia untuk memaksa Junta Militer Myanmar untuk menghentikan pembersihan etnis Rohingya.
Menurut Afifah Afra di laman webnya, afifahafra.com menuliskan bahwa selama proses menuju repatriasi, negara Asia di sekitar Myanmar diharapkan untuk membuka lokasi pengungsian. Lokasi tersebut wajib terpisah dari warga lokal agar tidak terjadi konflik seperti sebelumnya. UNHCR juga harus mengalokasikan lebih banyak anggaran agar beban Bangladesh yang selama ini telah menampung banyak sekali pengungsi sedikit bisa diringankan. Penegasan
Pengungsi Rohingya tidak hanya ditolak namun juga dimusuhi. Hal ini sangat bisa membahayakan mereka (pengungsi Rohingya) lebih parah lagi. Mereka bisa saja mendapatkan perlakuan yang lebih buruk daripada yang sudah mereka alami selama ini dari pembenci-pembenci mereka dari warga negara yang pernah menampung mereka. Karena detik ini, status eksistensi pengungsi Rohingya sedang dalam ancaman.
Kita tidak seharusnya benci
Tentang Muslim Rohingya, masih banyak sekali misteri tentang mereka. Namun saat ini, cukup jangan membenci. Muslim Rohingya, muslim masih ada yang shalat, muslim Rohingya masih ada yang hafal ayat kursi, muslim Rohingya masih ada yang nangis jika didoakan, muslim Rohingya masih ada yang hafal Al-Qur’an, muslim yang Tuhannya sama-sama Allah, yang nabinya sama-sama Nabi Muhammad, muslim yang kitabnya sama, muslim yang kiblatnya sama.
Jika nanti warga Indonesia masih menolak kehadiran mereka, maka itu adalah hal yang sah-sah saja. Namun, jangan membenci atau pun menindas mental mereka lebih lagi. Entah mereka pantas mendapatkan semua kebencian tersebut atau tidak, yang jelas adalah kita yang tidak pantas untuk memberikan kebencian itu karena bagaimana pun mereka adalah saudara muslim kita, mereka adalah manusia. Mereka masih memiliki hak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang kita. Dan kalau pun tidak, maka jangan membenci apalagi menghasut dan memprovokasi orang-orang untuk ikut membenci mereka.
Terlepas dari kelakuan mereka yang kurang berpendidikan karena nyatanya begitu, mereka adalah orang-orang yang nasibnya sama dengan rakyat Palestina. Mereka sama-sama ditindas secara etnis, mereka juga diusir dari tanah air mereka sendiri. Banyak kasus kejahatan di Indonesia, yang diakibatkan oleh orang Indonesia sendiri, namun hal tersebut tidak membuat semua orang Indonesia adalah kriminal.
Sama halnya dengan pengungsi Rohingya. Tidak semuanya hina, tidak semuanya tidak beretika, tidak semuanya bermasalah. Karena nyatanya, banyak sekali orang Rohingya yang berhasil tinggal di negara tetangga dengan baik, berdampingan dengan warga lokal di negara-negara tersebut. Sampai sini, mari kita berpikir dan berpandangan secara objektif alih-alih subjektif. Wallahu alam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google