Oleh: Aily Natasya
Selama kampanye untuk pemilihan umum 2024 tempo hari, banyak sekali masyarakat yang saling mengkritik para calon presiden dan wakil presiden di berbagai media. Ketiga pasangan calon tersebut mendapatkan berbagai macam kritikan, mulai dari yang positif sampai yang paling negatif. Masyarakat pun berbondong-bondong menguak rekam jejak masing-masing pasangan calon, dari prestasi mereka, sampai dengan dosa mereka di masa lalu.
Argumen seru pun terus menggaung, menimbulkan sedikit banyak keributan antar pendukung pasangan calon. Namun tak sedikit juga yang karena tidak menyukai keributan tersebut, jadi mengatakan bahwa kita sebagai rakyat tidak memiliki hak sama sekali untuk mengkritik pemerintah, apalagi mengungkap rekam jejak buruk mereka. Namun, apakah benar bahwa kita tidak boleh melakukan kritikan dan mengungkapkan rekam jejak mereka?
Dalam seleksi, rekam jejak adalah hal yang paling penting. Utamanya dalam penentuan seorang pemimpin, kinerjanya di masa lalu semasa menjabat menjadi penilaian yang paling dipertimbangkan bagi masyarakat. Tentu saja penilaian semacam ini sah-sah saja karena masih erat kaitannya dengan masyarakat, atau dengan kata lain, bukan personal.
Dalam pencarian karyawan, HRD perusahaan juga seringkali mengulik rekam jejak digital para pelamar kerja. Karena selain kemampuan, rekam jejak menjadi pertimbangan yang khusus bagi pihak perusahaan dalam memilih karyawan agar dapat bersama membangun perusahaan menjadi perusahaan yang baik. Begitupun dalam hal bernegara. Tentu saja seharusnya ini lebih layak untuk dikuak.
Tapi ini tentang aib. Apakah kita boleh menyebarkan aib pemimpin? Tergantung tujuannya. jika hanya untuk menjatuhkan maka tidak. Jika untuk peringatan, maka tentu saja boleh. Apalagi sistem demokrasi ini menuntut masyarakat agar memilih pemimpin yang mumpuni. Jadi seharusnya, masyarakat tidak dibiarkan bodoh dan justrru diedukasi agar bisa memilih pemimpin yang baik.
Dalam Islam, jangankan pemimpin, untuk membuka aib orang biasa demi mewaspadai orang tersebut saja boleh. Asalkan, aib yang dikabarkan itu benar, bukan fitnah. Hal ini merujuk pada riwayat Imam Bukhari:
Suatu ketika seorang laki-laki meminta izin kepada Nabi saw. Setelah itu Rasulullah saw. mengatakan, “Berilah dia izin, seburuk-buruk orang adalah orang dari suku ‘Asyirah.” Laki-laki yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn Al-Fazari yang terkenal sebagai orang yang pandir namun ditaati.
Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab diangkat menjadi pemimpin, mereka dengan senang hati mempersilahkan masyarakat agar mengawasi dan mengkritik kinerja mereka.
Begitupun yang dilakukan oleh masyarakat sekarang. Bukan untuk menghasut, namun memberi tahu. Dan jika semua informasi yang dikemukakan adalah benar, sangat tidak benar jika malah dituduh sebagai penyebar informasi yang dapat mengundang provokasi. Dan jika bukan masyarakat dan media berita yang memberi tahu, lantas siapa lagi? Karena jika para calon dan timnya sangat tidak mungkin. Justru sebaliknya, mereka akan membuat segala citra baik semasa kampanye.
Mencontoh Para Ulama yang Tidak Bersuara
Para ulama itu, mereka nggak menyuarakan bukan karena tidak ingin tapi tidak bisa. Dari dulu masyarakat dan pemerintahan kita sangat sensitif jika ada yang ulama mencampuri politik. Politik tidak boleh bawa-bawa agama padahal karena pemerintahan dan pemimpin kita menjauhi ajaran Islam rakyat banyak yang menderita dan menjadi korban keserakahan pemerintah. Mereka lupa dengan Tuhan, maka pada rakyat lebih lupa lagi.
Padahal di masa lalu, khususnya di zaman kejayaan pemerintahan Islam, entah itu pada masa pemerintahan Bani Umayyah atau Utsmani, ulama adalah lentera bagi dunia politik Islam. Kalau sekarang, ulama terdahulu seperti penasehat yang mengawasi pemerintahan dan menjadi penasehat utama para pemimpin. Agama juga dijadikan sebagai landasan utama dalam menjalankan politik. Dan hasilnya? Pemerintahan Islam di masa-masa tersebut adalah pemerintahan terbaik di sepanjang masa.
Yang terjadi saat ini, para pejabat dan para cedekiawan banyak yang sudah tidak netral dan berpihak pada apa-apa yang bisa menguntungkannya. Sehingga, banyak sekali orang-orang di pemerintahan kita yang semena-mena dalam menjalankan masa jabatannya.
Lihat pemerintahan kita sekarang, ulama dibungkam, cendekiawan juga dicemooh, dan hasilnya? Pemerintahan kita berantakan. Selain memang sistemnya yang salah, karena diamnya orang-orang berilmu ini pula yang membuat para politisi semena-mena dalam menjalankan amanah rakyat.
“Dan demikian Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian mereka disebabkan dosa yang mereka lakukan.” (QS. Al-An’am: 129).
Syekh Muhammad Al-Khudari Bek, dalam kitab Nurul Yaqin fi Shirati Sayyidil Mursalin mengatakan kontrol dan kritik masyarakat untuk mengawal kinerja (pemimpin) agar selalu di jalur yang benar. Pemimpin kita juga seorang manusia yang bisa berbuat salah. Sehingga, pentingnya peran masyarakat, terutama cendekiawan untuk tetap netral dalam menilai kinerja pemerintahan dan mengkritik mereka agar tidak salah jalan.
Daripada meniru diamnya para ulama, harusnya kita merenung kenapa ulama kita sudah tidak setegas dulu. Ya, karena begitu mereka bersuara menyuarakan kezaliman demokrasi di negeri ini, mereke segera dibungkam dengan berbagai cara. Diusir, dipenjara, dikiminalisasi, dicap radikal, dan lain-lain. dan berhasil. Ulama sekarang sudah susah untuk berterus terang tentang kezaliman para pemimpin.
Pemimpin yang mendengarkan rakyat
Pemimpin yang baik itu seharusnya mengayomi. Dan salah satu tindakan mengayomi adalah mendengarkan apa-apa yang dikatakan oleh yang ia ayomi. Jika pemimpin dikritik, maka dia harus mempertimbangkannya, tak peduli siapa pun itu. Entah itu masyarakat biasa atau pun cendekiawan dan ulama.
Karena bagaimana pun pintarnya pemimpin, yang merasakan pahit dan manisnya situasi di lapangan adalah rakyat. Jika kebijakan seorang pemimpin salah, maka yang merasakan pahitnya pertama kali adalah rakyat. Begitu pun sebaliknya. Maka penting sekali untuk mendengarkan sudut pandang rakyat, utamanya rakyat kecil.
Dengan mendengarkan keluhan masyarakat, pemerintah juga jadi bisa lebih mudah untuk menerapkan strategi karena permasalahannya sudah ditemukan oleh mereka. Pun jika ada yang memberika saran dan solusi, pemerintah jadi bisa langsung memakbulkan permintaan rakyat dengan cara mendanai dan meregulasikannya. Kerja sama antara rakyat dan pemimpin, sebuah kolaborasi yang mengagumkan.
Namun bukti yang terjadi di lapangan saat ini, jangankan cendekiawan, banyak sekali dari rakyat kecil yang dilaporkan selepas mengkritik atau hanya sekedar mengeluh pada pemerintah. Dan mereka melaporkannya bukan karena rakyat tersebut salah kritik namun karena dianggap mengganggu.
Katanya, demokrasi adalah sistem yang mengetumakan rakyat. Yang mana, dari rakyat untuk rakyat. Namun dari dulu hingga sekarang, tidak ada satu pun fakta lapangan, negara yang menganut sistem demokrasi ini mensejahterakan rakyatnya. Selalu kelompok elitlah yang diuntungkan, dan rakyat kecil yang dikorbankan. Demokrasi, masihkah kita berharap pada sistem yang sudah banyak menunjukkan kebobrokannya ini? Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google