Oleh: Humaida Aulia, S.Pd.I
Papua, negeri berjuta impian. Sedari dulu, Allah cipta begitu kaya. Gunung-gunung emasnya, hutannya, sungainya, bahkan lautnya surga yang tak tertandingi di dunia. Namun sedih tak bisa dinyana, negeri impian itu tak dapat membuat penduduknya bahagia. Rakyatnya justru sengsara dalam nelangsa yang tak tahu ujungnya.
Kali ini mari kita tengok gunung-gunung emasnya. Sejak 1967, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah menginjakkan kaki disana (money.kompas.com, 18/11/2023). Mengeruk emas dari tanah Papua, lama sekali. Lebih dari setengah abad PTFI bercokol di Papua tapi tak membuat rakyatnya sejahtera. Terlebih yang terjadi saat ini. Presiden Joko Widodo resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Melalui aturan tersebut, Jokowi resmi memberikan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada PT Freeport Indonesia sampai dengan masa umur cadangan tambang perusahaan. Namun demikian, Freeport harus memberikan saham 10% lagi kepada Pemerintah Indonesia, sehingga kepemilikan Indonesia di PT Freeport Indonesia menjadi 61% dari saat ini 51% (ekbis.sindonews.com, 31/05/2024)
Belum lagi dampak dan kerusakan lingkungannya. Anggota DPR Papua John NR Gobai menjelaskan perubahan yang terjadi di Kokonao, Kabupaten Mimika. Limbah tailing Freeport telah menyebar luas dan menimbulkan pengendapan hingga ke Mimika Barat. Ia mengatakan terjadi pendangkalan di muara-muara sungai. Setidaknya, masyarakat di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, merasakan dampaknya. (VOA Indonesia, 1-2-2023)
Indonesia Tetap Sengsara!
Eksploitasi tambang emas yang dikelola oleh PT Freeport Indonesia menuai bencana bagi masyarakat Papua, terutama di Kawasan Mimika. Masyarakat yang menggantungkan hidup dari alam terutama sungai tak bisa mencari ikan karena terjadi endapan. Sungai adalah tempat mereka hidup dan mencari nafkah. Bagaimana jadinya jika tempat penghidupan mereka rusak oleh tangan-tangan jahil korporasi yang membuang limbah tanpa peduli nasib masyarakat yang hidup di dalamnya?
Sejatinya, keserakahan yang terjadi di Papua adalah sifat asli dari kapitalisme. Sifat asli kapitalisme yang rakus dan serakah akan selalu berujung pada kerugian banyak pihak terutama manusia dan lingkungan. Mereka tidak akan peduli seberapa besar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan atau seberapa banyak masyarakat yang menderita akibat ulahnya. Bagi kapitalisme, yang penting adalah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Semua itu makin menjadi tatkala penguasa negeri ini melegalisasi regulasi dan undang-undang yang memberi peluang bagi asing untuk mengamankan kepentingannya. Mereka membebaskan kepemilikan harta bisa dikelola siapa saja. Alhasil, siapa yang punya uang bisa membeli apapun yang mereka mau, termasuk sumber daya alam. Undang-undang dimodifikasi dan dibuat-buat seolah memberi keuntungan bagi rakyat padahal sejatinya merugikan. Dan akhirnya undang-undang ini tetap bergulir meski ditentang banyak pihak.
Wajar sekali dalam kebijakan politik ekonomi kapitalisme keuntungan hanya berputar pada segelintir orang seperti pemilik modal, pengusaha, hingga pejabat pemilik konsesi tambang, hutan, tanah, dan kekayaan lainnya. Sungguh menyedihkan, rakyat hanya mengais sisa-sisa keuntungan atas keserakahan yang disetujui pemimpinnya sendiri.
Syarat penambahan saham oleh PTFI menjadi 61% tetap merugikan Indonesia dan rakyat Indonesia sebagai pemilik SDA. Nyatanya keuntungan dari saham-saham itu tidak langsung diberikan kepada pemerintah, namun malah semakin membuat rakyatnya sengsara dengan tercemarnya lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan kemiskinan yang membayangi mereka setiap hari.
Islam Mewujudkan Papua Sejahtera
Islam sebagai agama sekaligus ideologi lengkap mengatur tak hanya prihal ibadah namun juga seluruh tata kelola kehidupan. Islam memiliki sistem ekonomi yang menetapkan konsep kepemilikan. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Untuk sumber daya yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat seperti air sungai dan laut Negara hanya melakukan pengawasan. Tetapi untuk sumber daya alam yang membutuhkan teknologi dan pengelolaan maka negara harus bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Apa yang menjadi kepemilikan umum tidak boleh dimiliki oleh individu. Negara tidak boleh menjual kepada asing hasil dari sumber daya alam tersebut tapi harus dikelola secara mandiri dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat tanpa merusak lingkungan.
Oleh karena itu, pengelolaan SDA berprinsip pada kemaslahatan umat. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan AMDAL sehingga tidak merusak lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Pembuangan limbah, daur ulangnya, serta kesiapan lingkungan amat dirinci sehingga masyarakat tetap bisa memanfaatkan lingkungan sekitar tanpa terganggu.
Selain itu semua, juga ada politik ekonomi Islam akan menjadikan negara Islam negara yang kaya, berdaulat dan menjadi negara adidaya. Islam memiliki baitulmal atau pos milik umum. Pos ini bisa bersumber dari fai, kharaj, jizyah, dan zakat, dan hasil tambang. Baitulmal yang begitu besar dari pengelolaan SDA ini, bisa dialokasikan dalam bentuk pelayanan kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan membiayai sarana dan fasilitas publik. Tentunya ini hanya bisa terwujud jika IsIam diterapkan dalam satu institusi bernama Khil4f4h yang akan membuat tak hanya Papua sejahtera, namun juga Indonesia bahkan dunia. Wallahu a'lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google