View Full Version
Rabu, 02 Oct 2024

Fufufafa, Politik Dinasti dan Kepemimpinan Islam

 

Oleh: Desti Ritdamaya

Praktisi Pendidikan

Fufufafa naik daun dan bikin geger publik. Lantaran pemilik akun kaskus tersebut dikaitkan dengan Cawapres terpilih 2024/2029 (baca: ‘fufufafa’) negeri Konoha. Bahkan pakar telematika Roy Suryo, secara lugas mengatakan keyakinan 99,9 % terkait kepemilikan akun tersebut.

Publik menyorot tajam rekam jejak postingan fufufafa yang dianggap mesum, tak beretika dan rasial. Postingan fufufafa kerap menyerang dan melecehkan tokoh politik termasuk Prabowo Subianto, partai politik hingga pesohor tanpa bukti kuat di ruang virtual.  

Postingan fufufafa menuai ragam reaksi publik. Setali tiga uang dengan reaksi pada karir politiknya yang melesat bak meteor. Tahun 2021, dengan lawan kotak kosong ‘fufufafa’ menang telak dan menduduki kursi nomor wahid di Surakarta. Belum panas kursi tersebut, ‘fufufafa’ gol bursa cawapres lewat jasa paman di ‘Mahkamah Keluarga’. ‘Fufufafa’ digandeng capres yang menjadi rival politik ayahnya saat pemilu 2019. Oktober 2024 mendatang, ‘fufufafa’ bersama Prabowo Subianto dipastikan melenggang masuk istana di tengah kisruh cerai politik antara keduanya.

Karir politik ‘fufufafa’ memang menyilaukan tapi publik banyak mengelus dada. Bukan tanpa alasan. Mengingat viral video di lini masa yang memotret ‘fufufafa’ memboyong koleksi berbagai mainan (tamiya, lego, action figure) saat undur diri dari walikota. Pun sama dengan pengakuan blak-blakan dirinya tak suka membaca buku, lebih suka membaca komik dan bacaan ringan. Hal ini terungkap saat talkshow dengan Najwa Shihab. Lantas tepatkah julukan nepo baby pada ‘fufufafa’ oleh media asing dalam capaian kekuasaannya hari ini?

 

Oligarki-Politik Dinasti Menjerat Negara

Diksi nepo baby memang tak tabu dalam sistem demokrasi. Mengingat konsep dasar dalam demokrasi adalah vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Suara rakyat pondasi kekuasaan (pemimpin negara) dan kedaulatan (pembuatan hukum negara). Kekuasaan diperoleh dari popular vote (suara terbanyak) dalam pemilu. Kedaulatan diperoleh dari ‘urun rembug’ wakil rakyat dalam parlemen.

Konsep dasar ini manis kulitnya. Tapi membuka ruang suara rakyat berstandar pada kemashlahatan bukan kompetensi dan pelayanan. Wajar realita pahit suara rakyat terbeli bahkan termanipulasi oleh mashlahat para pemilik kapital (baca : oligarki) kerap terjadi. Pemilik kapital bisa bermain di balik layar, mensupport penguasa tampil di muka raih kekuasaan. Bisa juga terjun sendiri berlaga dalam arena kekuasaan.

Tak ada yang menafikkan sepak terjang 9 naga dalam mensupport dan mengendalikan negara. Pun para pengusaha berbondong-bondong masuk dalam partai politik. Alhasil hampir 55 % anggota parlemen adalah pengusaha. Para menteri kabinet pemerintahan juga mayoritas anggota partai. Bahkan presiden dan wakil presiden ada yang berlatar pengusaha.

Melirik produk hukum negara (UU, Perpu, Keppres dan sebagainya) sarat aroma kapitalistik. Misal, UU Cipta Kerja yang diketok palu malam hari oleh parlemen, sudah berjilid jilid didemo buruh. Ramai unjuk rasa pada UU Minerba yang dipandang para pakar bermasalah. Pun kontroversi UU IKN yang melabrak UUD  tak lepas dari protes rakyat. Masih banyak lagi produk hukum pesanan sang tuan (oligarki) yang mengundang penolakan rakyat.

Kenikmatan berupa pundi-pundi materi, sanjungan dan kehormatan yang diperoleh dari kekuasaan menjadi adiktif bagi pemilik kapital (oligarki). Melanggengkan kekuasaan melalui tangan keluarga, kerabat dan kolega menjadi kebutuhan bahkan ambisi. Lumrah dilakukan dengan praktik machiavellian (menghalalkan segala cara). Acapkali state resources berupa birokrasi, anggaran, sosial budaya menjadi bancakan dalam praktik ini.

Ya politik dinastiadalah imbas intrinsik demokrasi. Nepotisme, kolusi, korupsi, politik transaksional maupun patronase selalu melingkupi atmosfer demokrasi. ‘Fufufafa’ hanyalah salah satu sampel dari menjamurnya politik dinasti di negeri ini. Tak hanya di Indonesia, negara lain penganut demokrasi pun mencatat jejak yang sama hingga kini. Misalnya, di Amerika Serikat ada dinasti Kennedy, Bush dan Clinton. Di India ada dinasti Nehru-Gandhi. Di Filipina ada dinasti Marcos dan Aquino. Di Singapura ada dinasti Lee Kuan Yew. 

 

Ideologi Islam Cegah Oligarki-Politik Dinasti

Dibutuhkan sistem yang berimun wahyu Allah SWT (ideologi Islam) untuk mencegah oligarki-politik dinasti. Ideologi Islam mengatur kedaulatan dan kekuasaan secara rinci dan telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin dalam negara Madinah. Islam menetapkan kedaulatan hanya pada Allah semata dan kekuasaan pada rakyat. Allah SWT berfirman :

اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS. Al-An'am ayat 57).

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Artinya : Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al Maidah ayat 50).

Hanya hukum yang bersumber dari al Quran, hadits, ijma’ shahabat dan qiyas yang berlaku dalam institusi negara. Produk hukum berbasis mashlahat manusia akan terkubur. Keberadaan negara Islam sebagai penjamin tegaknya din (agama) dan pengatur kehidupan dunia dengan syari’at Allah. Di pundak penguasa dipikulkan amanah ini, Hal yang pasti amanah ini akan diminta pertanggungjawaban di sisi Allah di akhirat. Rasulullah SAW bersabda :

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya : Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya (HR. Bukhari).

Kekuasaan berdimensi akhirat inilah yang menjadikan muslim yang bertakwa tak berambisi pada kekuasaan. Bagi yang berambisi lantas sengaja melalaikan amanah, atau memiliki niat baik tapi lemah memegang amanah, kekuasaannya akan menjadi kehinaan dan penyesalan di akhirat. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW pada Abu Dzar ra.

Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut" (HR Muslim).

Islam memberikan syarat in’iqad (sah) dan afdhaliyyah (keutamaan) bagi penguasa. Syarat in’iqad berupa muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu mengemban amanat khalifah. Syarat afdhaliyyah berupa mujtahid, pemberani dan dari suku Quraisy. Kedua syarat ini menjadikan penguasa dalam Islam harus berkompeten dan professional bukan kaleng-kaleng. Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Artinya : Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya (HR. Bukhari).

Rakyat diperbolehkan untuk memilh penguasa level khalifah sesuai keridhaan. Teknisnya bisa melalui pemilu. Untuk penguasa level wali (gubernur) dan amil (bupati) ditunjuk oleh khalifah. Sebagaimana perbuatan Rasulullah SAW yang mengangkat Muadz bin Jabal menjadi wali di Yaman, Ziyad bin Labid wali di Hadhramaut, Abu Musa Al Asy’ari di Zabid dan ‘Adn, dan sebagainya. 

Perlu kiranya mengambil teladan dari Umar bin Abdul Azis. Beliau terkejut dan mengucapkan istirja’ ketika dipilih menjadi khalifah. Beliau menangis saat hendak dibai’at kaum Muslim. Beliau berpidato : “taatlah kamu kepadaku selama aku ta’at kepada Allah. Jika aku durhaka kepada Allah, maka tak ada keharusan bagimu untuk taat kepadaku. Ketakwaan mengarahkannya untuk amanah dalam kekuasaan. Hanya dalam waktu 2,5 tahun, kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh rakyat kekhalifahan Islam.

Jika hari ini syari’at Allah masih ditelantarkan dalam bernegara, kemiskinan atau masalah sosial lainnya menumpuk tak terurus, takutlah wahai para penguasa dan politikus. Karena Allah akan meminta pertanggungjawaban kalian! Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version