View Full Version
Ahad, 20 Oct 2024

Pembengkakan Koalisi dan Resikonya 5 Tahun ke Depan

 

Oleh: Ameena N

Beberapa hari yang lalu, calon presiden terpilih, Prabowo Subianto memanggil tokoh-tokoh yang akan dipertimbangkan untuk mengisi kursi di kabinetnya. Ada 108 orang totalnya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki latar belakang sangat beragam. Ada 17 orang yang pernah menjabat sebagai menteri di era presiden sebelumnya, lalu 15 Aparatur Sipil Negara, 10 wakil menteri (pada masa kepresidenan Jokowi), 9 politikus dari partai Gerindra, 8 politikus dari partai Golkar, 6 tokoh agama, 6 akademisi, 5 pengusaha, 5 relawan, 3 politikus dari partai PAN, 3 politikus dari partai PKB, 3 politikus dari partai Demokrat, 3 polisi, 3 pesohor, 2 pengacara, 2 politikus dari partai Gelora, 2 politikus dari partai PSI, 2 TNI,  1 aktivis, 1 politikus dari partai Prima, 1 politikus dari partai Garuda, dan 1 politikus dari partai politik PPP.

Dengan adanya penggemukan koalisi ini, para peneliti Celios (Center of Economic and Law Studies) memperkirakan akan adanya potensi pembengkakan anggaran hingga Rp. 1,95 triliun selama lima tahun ke depan. Anggaran ini meliputi beban biaya gaji, tunjangan, dan operasional menteri dan wakil menteri (belum termasuk beban belanja barang pembangunan fasilitas kantor atau gedung lembaga baru).

Pembengkakan koalisi ini pun akan melemahkan oposisi dan peran DPR. Prabowo dan timnya berhasil melakukan itu. Semua dirangkul agar masuk ke koalisi. Jika koalisi jauh lebih kuat dibandingkan oposisi, maka kemungkinan-kemungkinan buruk seperti korupsi, nepotisme, dan pemborosan anggaran bisa terjadi dua kali lebih buruk dibandingkan dengan era kepemimpinan yang sebelumnya. Karena di era Jokowi, tiga hal ini sudah sering terjadi.

Program keberlanjutan yang dikampanyekan oleh pihak Prabowo-Gibran saat pemilu kemarin sangat terasa memusingkan sekarang. Padahal negara ini sangat butuh perubahan. Tidak hanya perubahan kepemimpinan, namun juga akar sistemnya. Ini baru permulaan, namun sudah ada banyak sekali kebijakan yang merugikan negara dan rakyat. Pembengkakan anggaran dan juga hutang negara, sepertinya akan terus berlanjut sampai lima tahun ke depan. Dampak dari dua permasalahan ini akan semakin meluas, seperti gaji guru dan nakes yang tidak layak, pendidikan yang tidak layak, pajak naik, dan masih banyak lagi permasalahan lain yang membebani rakyat.

Keberlanjutan, Presiden baru, wakil presiden baru, namun tiada harapan baru. Kebijakannya tetap yang lama, sistemnya juga tetap yang lama. Buruknya sistem kepemimpinan dan kebijakan rezim Jokowi kemarin, akan diteruskan lagi selama lima tahun ke depan oleh Prabowo-Gibran. Bayangkan, 5 tahun ke depan, rakyat akan menghadapi keluhan dan kesengsaraan yang sama sebagaimana yang terjadi selama sepuluh tahun ke belakang.  

Beberapa waktu belakangan ini, kita banyak diperlihatkan betapa mudahnya demokrasi dimanipulasi oleh pemimpin-pemimpin dan elite negara. Ketidakadilan dan nepotisme merajalela di negara kita, namun rakyat yang katanya adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi pun hanya bisa berdemo lewat sosial media dan depan gedung. Sisanya hanya diam, bahkan dibungkam dengan mudahnya. Sudah sampai begitu pun masih banyak yang belum sadar betapa bobroknya sistem demokrasi, yang karena semua undang-undangnya dibuat oleh manusia, jadi ia tidak sempurna.  

Ada kiblat yang lebih baik untuk membenahi semua ini. Dan semoga kita semua bisa segera memperbaiki sistem ini. Karena percuma, siapa pun pemimpinnya, siapa pun orang-orang yang mengisi kabinet, jika sistemnya sudah rusak, maka akan rusak semuanya. Tidak ada solusi lain dalam memperbaiki negara yang rusaknya sistematis ini selain diperbaiki secara sistematis pula. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

ILustrasi: Google


latestnews

View Full Version