View Full Version
Ahad, 27 Oct 2024

Pendidikan Ala Finlandia yang Gagal Total

 

Oleh: Aily Natasya

Di mana-mana sedang dibicarakan dan keluhan soal banyak anak SMP yang belum lancar membaca. Bahkan baru-baru ini, video wawancara di jalan yang menanyakan soal Geografi pada anak SMA. Mereka diminta untuk menyebutkan negara-negara di Eropa, dan jawabannya adalah Garut. Jawaban tersebut bukanlah sebuah bercandaan asal bunyi, namun itu realita kualitas isi kepala anak-anak sekolah di zaman sekarang.

Seorang influencer membuat suatu wawancara dari 17 anak SMP negeri di Jakarta yang meminta anak-anak tersebut menyebutkan tiga kebutuhan primer (dasar) manusia, dan hanya 3 sampai 4 anak yang bisa menjawab. Padahal soal tersebut merupakan soal yang mendasar, yang tidak membutuhkan bakat khusus. Dan ketika mereka ditanya tentang apakah mereka tidak berusaha untuk belajar di rumah atau mencari tahu soal itu ketika di luar sekolah, mereka menjawab bahwa mereka bahkan tidak (giat) belajar saat di sekolah. Miris? Namun, bagi mereka, itu bukanlah hal paling buruk, karena teman-teman mereka ada yang lebih parah karena tidak bisa membaca, namun tetap aman dan bisa naik kelas.

Kurikulum merdeka yang menghapus ujian nasional, lalu sistem rangking juga dihapuskan, lalu sistem zonasi, merupakan upaya-upaya dari kementerian pendidikan agar sistem pendidikan kita bisa setara dengan konsep yang diterapkan dalam sistem pendidikan di Finlandia. Mereka tidak ada ujian nasional dan rangking, sepenuhnya percaya dengan bakat dan minat anak-anak dalam belajar. Namun, mengapa bisa Finlandia berhasil (bahkan menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia), sedangkan kita tidak berhasil? Mengapa anak-anak kita tidak maju seperti anak-anak di Finlandia, namun malah jauh mundur ke belakang kualitasnya?

Tentu saja sistem pendidikan di Finlandia sangat bagus. Patut dicontoh oleh negara mana pun yang berusaha untuk memajukan pendidikan bagi masyarakatnya. Namun kita lupa bahwa meniru konsepnya saja tidak cukup jika persiapannya tidak matang. Kita berusaha meniru cara Finlandia, tapi kita lupa soal menyempurnakan fasilitas dan persiapannya. Seperti contoh, kesejahteraan ekonomi keluarga di Indonesia apakah sudah sama? Pola asuh dan pola pikir orang  tua dalam mendidik anak, apakah sudah sama? Fasilitas kesehatannya, apakah sudah sama? Fasilitas sekolahnya? Gaji gurunya?  

Analoginya seperti kita hendak menanam singkong karena melihat tetangga kita menanam singkong, dan kita ingin menirunya namun sayangnya tanah kita adalah tanah yang berlumpur, dan terlalu basah, sehingga membuat akar singkong membusuk dan tidak dapat tumbuh dengan baik. Jika kita paksakan singkong tersebut ditanam di tanah berlumpur, tanpa mengubah media tanamnya, maka kita hanya akan memanen singkong-singkong yang gagal. Kecuali, kita berusaha membuat tanah berlumpur tersebut agar bisa mengalirkan air dengan baik dan memastikan tanah tersebut cukup gembur, maka akar singkong dapat tumbuh dengan baik.

Begitu pun dengan sistem pendidikan yang hendak kita tiru tersebut. Kita mungkin bukan Finlandia, namun kita bisa menjadi Finlandia, asalkan kebutuhan-kebutuhan dasarnya dipersiapkan dengan baik dan matang. Bukan hanya modal menerapkan program, tapi dasar-dasarnya tidak diperbaiki. Perbaiki fasilitas di sekolahnya, naikkan gaji guru (ini yang paling penting), lalu kualitas guru, lalu yang lainnya akan mengikuti. Karena dari dulu hingga sekarang, entah mengapa isu gaji guru ini belum juga tuntas. Masih saja di bawah rata-rata bahkan jauh dari kata layak terutama guru honorer dan swasta pinggiran.

Profesi guru itu mulia, namun gajinya seakan-akan mencemooh mereka. Ya, bagaimana tidak? Gaji penjaga es teh di pinggir jalan bahkan jauh lebih banyak daripada guru. Padahal, tugas dan tanggung jawabnya jauh lebih besar dan berat seorang guru. Na’udzubillah.

Sistem pendidikan selama sepuluh tahun (era kepemimpinan Jokowi) semakin hari semakin buruk, padahal sistemnya sudah berkali-kali diubah, namun tidak ada peningkatan sama sekali. Entah apa yang dipikirkan oleh pemerintah kita. Yang jelas, semua seolah-olah mainan bagi mereka, tidak ada yang serius dalam menangani hal yang seharusnya ditangani paling serius ini. Jadi tak heran, adopsi sistem ala pendidikan Finlandia menemui jalan buntu saat diterapkan di negeri ini. Wallahua’lam. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version