View Full Version
Jum'at, 08 Nov 2024

Menteri Pendidikan Baru, Kurikulum Baru?

 

Oleh: Desti Ritdamaya

Praktisi Pendidikan

 

Ganti menteri ganti kurikulum. Pameo yang tak asing terdengar di masyarakat. Sejak Indonesia merdeka hingga kini terjadi 11 kali perubahan kurikulum, mulai dari kurikulum 1947 hingga kurikulum merdeka. Dengan pergantian menteri pendidikan dalam kabinet Merah Putih, santer beredar kurikulum pendidikan kembali berubah. Mengingat viral di media sosial postingan aspirasi masyarakat terkait pemberlakuan kembali nilai ebtanas murni (NEM) hingga rapor merah.

Bukan tanpa alasan aspirasi tersebut menggema. Ramai pakar dan politisi memberikan penilaian merah pada dunia pendidikan di bawah kinerja menteri Nadiem Makarim. Bahkan netizen berani menyatakan kurikulum merdeka adalah kurikulum terburuk sepanjang sejarah. Ya memang diakui dunia pendidikan hari ini tak baik-baik saja.

Survey kualitas pendidikan Indonesia tingkat internasional selalu berada di urutan bawah, yang menunjukkan rendahnya kompetensi guru dan siswa. Terbukti dengan banyak siswa SMP tak bisa baca dan pengangguran lulusan perguruan tinggi meningkat. Program wajib belajar 12 tahun masih sebatas pencitraan, terbukti dengan jutaan siswa putus sekolah. Sistem zonasi carut marut. Komersialisasi pendidikan mengental sehingga biaya pendidikan melangit. Marak kriminalisasi terhadap guru yang mencerminkan degradasi adab siswa. Tugas utama guru mendidik terbengkalai karena beban berat administrasi. Tak bisa dinafikkan hingga detik ini dunia pendidikan masih diselimuti sejuta permasalahan yang tak kunjung ada solusi.

Polemik Perubahan Kurikulum

Patut dipertanyakan, selama 11 kali pergantian kurikulum berdampak signifikankah pada peningkatan kualitas pendidikan? Dunia pendidikan tak baik-baik saja menjadi jawabannya.  Narasi yang diungkap, kurikulum baru upaya untuk penyesuaian pendidikan dengan kebutuhan zaman.

Realitasnya kurikulum baru kebanyakan produk setengah matang. Kurikulum dibuat tergesa-gesa hanya untuk mengejar ‘setoran’ kerja pengambil kebijakan. Sayangnya dipaksa dikonsumsi oleh guru dan jutaan siswa. Wajar setiap pergantian kurikulum selalu ada goncangan di level satuan pendidikan. Guru acapkali mengalami kebingungan dalam adaptasi kurikulum baru. Siswa pun terlebih lagi. Sarana dan prasarana yang ada tak mendukung kurikulum baru. Hal ini tentu saja mempengaruhi proses pembelajaran di kelas. Malpraktik pengambil kebijakan?

Yang semakin membuat tak nyaman, kabar tak sedap kurikulum baru proyek cari uang baru selalu menyeruak. Ratusan triliun rupiah dari uang rakyat dikucurkan. Tapi derasnya arus anggaran tak selaras dengan transparansi pengeluarannya. Mau dibawa kemana nasib anak negeri, jika dunia  pendidikan dianggap ladang basah dan menjadi kelinci percobaan. Miris. 

Menelisik lebih dalam, sebenarnya perubahan kurikulum selama ini hanya dalam tataran cabang dan teknis saja. Yaitu konten materi, strategi maupun evaluasi/asesmen pembelajaran. Tapi tetap dalam asas ideologi sekuler yang menjauhkan nilai-nilai agama dalam pengaturannya. Terbukti dengan pelajaran agama hanya sebagai pelengkap bukan konten utama kurikulum. Pun materi agama yang dipelajari hanya berputar masalah akhlaq dan ibadah ritual.  Standar output pendidikan berorientasi pada materi semata (gelar, jabatan, kesuksesan dalam dunia kerja dan perolehan kekayaan). Selama asas sekuler menjadi arah pandang pendidikan, ribuan kali perubahan kurikulum tak akan membawa  kebangkitan hakiki terkait kualitas pendidikan.

Kurikulum Emas Warisan Sang Teladan Dunia

Islam datang pada kaum jahiliah dan ummi (tak bisa baca tulis). Dengan kurikulum dibimbing wahyu Allah, Rasulullah SAW berhasil mendidik para shahabat menjadi khaira ummah (umat terbaik). Dengan tetap menerapkan kurikulum dari Rasululullah SAW, kekhilafahan Islam selama 13 abad menjadi mercusuar pendidikan yang bercahaya menerangi dunia. Sejarawan dan pemikir Barat yang objektif seperti Tim Wallace-Murphy, Montgomery Watt, Thomas Schuetz, Fuat Sezgin dan lainnya mengakui bahwa peradaban Barat berutang pada Islam. Ya peradaban Barat hari ini sejatinya lahir dari rahim peradaban Islam. 

Siapa yang tak kenal dengan Ibnu Haitsam, Al Farabi, Abbas bin Farnas, Ibnu Nafis, Al Jahiz, Ar Razi, Jabir Ibn Hayyan, Al Kindi, Al Khawarizmi. Karya-karya mereka berpengaruh besar pada sains dan teknologi kontemporer. Yang menarik mereka polimatik, menguasai berbagai bidang sains teknologi termasuk agama. 

Dalam tsaqafah Islam juga berkembang pesat dan muncul para ahli di bidangnya. Para ‘alim ulama berusaha untuk menjelaskan, mendetailkan dan memetakan isi kandungan Al Quran dan As Sunnah. Sehingga muncul berbagai cabang ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat, ilmu fiqih, ilmu kalam dan sebagainya. Misalnya Abu Ja’far Muhammad bi Jariri At Thobary, Ibnu Katsir, Abu muhammad al Syatibi, Imam Malik bin Anas, Abu Dawud Sulaiman, Imam Abu ‘Isa Tirmidzi, Imam al Nasai, Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Malik bin Anas al Asbahi, Imam Ahmad bin Hambal, al Ghazali, Imam al Haramain dan lainnya. Karya dan jasa mereka sampai sekarang masih menjadi rujukan kaum muslim.

Kurikulum Rasulullah SAW yang terbukti haq dan berhasil tersebut berdasarkan firman Allah SWT :

كَمَآ أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا۟ تَعْلَمُونَ

Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS. Al Baqarah ayat 151).

هُوَ ٱلَّذِى بَعَثَ فِى ٱلْأُمِّيِّۦنَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا۟ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا۟ مِن قَبْلُ لَفِى ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ

Artinya: Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Al Jumu'ah ayat 2).

Asas kurikulum pendidikan adalah ideologi Islam. Tsaqafah Islam (akidah dan syari’at Islam) yang bersumber dari kitab al Quran dan As Sunnah menjadi konten materi pertama dan utama. Dengan hal ini dapat mensucikan jiwa pelajar sehingga terjaga fitrah dan akalnya. Selanjutnya baru pemberian materi sains teknologi. Tak diperbolehkan mempelajari konten yang bertentangan dengan Islam kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.

Metode dan strategi pembelajaran mengintegrasikan aqliyah dan nafsiyah Islam. Yaitu dengan dorongan iman, setiap pelajar wajib menuntut ilmu untuk diamalkan agar mendapat keberkahan. Standar output pendidikan adalah membangun kepribadian Islam dan mempersiapkan pelajar menjadi ‘alim ulama baik terkait tsaqafah islam maupun sains teknologi. Bukan sekadar mendapat kenikmatan materi dunia yang rendah nilainya. Kurikulum pendidikan meliputi asas, konten materi, metode/strategi serta standar output berdasarkan Islam bersifat tetap dan tak mengalami perubahan.

Islam memandang pendidikan sebagai salah satu sarana membangkitkan umat secara hakiki dan investasi keberlangsungan peradaban Islam. Sehingga Islam menuntun negara untuk memberikan pelayanan terbaik dalam pendidikan bagi rakyatnya. Landasan hukumnya hadits Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda: “Imam adalah (laksana) penggembala (pelayan). Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya”.

Negara harus mengupayakan adanya akses, sarana dan prasarana belajar bagi seluruh rakyatnya. Baik pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Dengan dukungan dari negara generasi emas lahir dari rahim peradaban Islam adalah keniscayaan. Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version