Deklarasi New York yang dikeluarkan setelah “International Conference for the Peaceful Settlement of the Palestinian Question and the Implementation of the Two-State Solution” pada 30 Juli di New York—dipimpin bersama oleh Arab Saudi dan Prancis dengan partisipasi berbagai negara dan entitas—terdiri dari 42 poin, terlalu banyak untuk dibahas seluruhnya dalam artikel ini. Namun, yang perlu ditekankan sejak awal adalah bahwa deklarasi ini secara efektif berupaya mendelegitimasi perlawanan Palestina secara keseluruhan dan menjadi semacam dakwaan terhadap rakyat Palestina serta perjuangan mereka yang telah berlangsung puluhan tahun—bukan sekadar penolakan terhadap Hamas.
Deklarasi ini secara eksplisit menyamakan rakyat Palestina dengan Israel dan mengutuk perjuangan nasional Palestina dengan menggunakan istilah seperti “terorisme,” “ekstremisme,” dan “hasutan.” Lebih buruk lagi, deklarasi ini mengadopsi propaganda Israel dalam menggambarkan genosida yang sedang berlangsung.
Bahaya deklarasi ini tidak hanya terletak pada sikap beberapa negara terhadap Hamas, tetapi pada upaya kerangka luas Arab, Islam, dan internasional untuk menggambarkan perjuangan Palestina sebagai sesuatu yang patut dikutuk—di tengah genosida yang masih berlangsung. Ini bertentangan dengan klaim bahwa deklarasi membuka jalan bagi solusi dua negara atau menghentikan kekejaman jika Hamas menyerah dan meletakkan senjata.
Masalah utamanya bukan bahwa negara-negara pendukung deklarasi gagal menawarkan rencana yang layak kepada Hamas—misalnya, jaminan penghentian genosida, pencegahan pengusiran, pencabutan blokade, dan rekonstruksi Gaza sebagai imbalan pelucutan senjata dan pembebasan “sandera” (istilah yang digunakan deklarasi). Masalah sebenarnya adalah bahwa semua yang diklaim sebagai "positif" dalam deklarasi ini hanyalah kedok untuk mengukuhkan posisi yang justru melemahkan Palestina di tengah genosida.
Deklarasi ini mengadopsi narasi Israel dengan menyamakan peristiwa 7 Oktober dengan genosida yang dilakukan Israel—padahal narasi Zionis sedang terbongkar di seluruh dunia, termasuk di pusat-pusat dukungan tradisional seperti Eropa, Inggris, dan AS. Pengungkapan ini tidak hanya terkait kekejaman saat ini, tetapi juga sejarah konflik secara keseluruhan.
Istilah seperti “terorisme,” “ekstremisme,” dan “hasutan” sengaja digunakan secara ambigu, tidak hanya ditujukan kepada Hamas, tetapi pada prinsip perlawanan terhadap pendudukan itu sendiri. Ini menekan rakyat Palestina secara kultural, merongrong hak mereka untuk melawan—bahkan dalam kurikulum pendidikan Otoritas Palestina (OP) yang sudah sangat dibatasi.
Klausul 18 mendukung upaya memerangi “hasutan” di semua platform, terutama sekolah. Deklarasi ini menyambut baik “reformasi kurikulum” OP, sementara hanya sekadar “menyeru” Israel melakukan hal yang sama—tanpa tekanan nyata. Padahal, kurikulum Palestina sudah terus direvisi untuk menghilangkan muatan nasional, mengaburkan pemahaman generasi muda tentang sejarah konflik. Perubahan ini dipaksakan melalui syarat pendanaan Barat dan Israel.
Kini, negara-negara Arab dan Islam yang menandatangani deklarasi ini bergabung dengan Israel dan Barat untuk memaksa rakyat Palestina meninggalkan narasi sejarah mereka demi dana untuk OP—yang terus ditekan secara ekonomi oleh Israel, meski sudah tunduk pada isi deklarasi ini.
Klausul 32 dan 33 menyamakan pemukim ilegal dengan perlawanan Palestina dalam hal “tindakan pembatasan.” Deklarasi menyebut “pemukim ekstremis yang melakukan kekerasan”—seolah-olah pemukim yang tidak terang-terangan melakukan kekerasan bisa diterima, meski mereka tetap bagian dari proyek kolonial. Lebih parah lagi, klausul berikutnya menyerukan tindakan terhadap “individu atau kelompok yang menentang penyelesaian damai melalui kekerasan atau terorisme.” Dengan ini, deklarasi menyamakan pemukim ilegal yang menyerang warga Palestina dengan rakyat Palestina yang mempertahankan diri.
Deklarasi ini lebih dari sekadar bukti ketidakberdayaan negara-negara Arab dan Islam, atau kegagalan global dalam menghadapi tragedi Palestina. Ini adalah pengakuan terhadap posisi Israel dalam seluruh isu Palestina. Seruan agar Hamas menyerahkan senjata kepada OP bukan untuk menghentikan genosida, tetapi konsisten dengan tujuan deklarasi: mendelegitimasi perlawanan Palestina sepenuhnya.
Dalam kerangka yang sama, seruan untuk pemilu (dengan syarat tidak melibatkan pihak yang menentang agenda anti-perlawanan), pembangunan pasukan keamanan, dan normalisasi hubungan—semuanya menguntungkan Israel. Deklarasi ini bahkan melebihi pola historis di mana Israel selalu dihargai setelah pembantaian, seperti Inisiatif Perdamaian Arab usai invasi Lebanon 1982 atau Inisiatif Beirut 2002 pasca pengepungan Arafat.
Negara-negara Arab dan Islam yang gagal menghentikan genosida—meski ada prinsip “Responsibility to Protect”, putusan ICJ 2024, resolusi DK PBB, dan hasil KTT Arab-Islam—kini justru mengadopsi syarat-syarat Israel melalui deklarasi ini. Mereka jelas tidak akan mampu menghentikan genosida dan pengusiran paksa setelah Hamas menyerah, apalagi mendirikan negara Palestina yang berdaulat penuh.
Deklarasi New York mengingatkan pada Konferensi Sharm El-Sheikh 1996, yang juga berupaya mengutuk perlawanan Palestina namun gagal memberikan solusi nyata. Sekali lagi, Palestina dihadapkan pada jalan buntu: menyerah atau dihancurkan—sementara dunia hanya menonton. (MeMo/Ab)