Voa-Islam.com - Selama 77 tahun, Israel menikmati dukungan dan kekaguman tanpa goyah dari Barat, kerap dijunjung sebagai satu-satunya demokrasi di Timur Tengah. Israel membangun reputasinya melalui inovasi teknologi, kekuatan militer, dan keselarasan yang dianggap sejalan dengan nilai-nilai Barat. Amerika Serikat, khususnya, telah lama memperlakukan Israel sebagai sekutu strategis sekaligus mitra moral, memberikan bantuan finansial dan militer dalam jumlah besar.
Namun, peristiwa setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 telah menghancurkan citra yang dibangun dengan hati-hati ini. Respons Israel—yang ditandai dengan kekuatan berlebihan, korban sipil massal, dan bencana kemanusiaan di Gaza—telah memicu pergeseran besar dalam persepsi global. Bendungan itu bukan sekadar retak; ia jebol, dan tak ada upaya hubungan masyarakat, diplomasi, atau propaganda yang mampu menahan banjir kemarahan dan kecaman internasional.
Titik balik: 7 Oktober dan sesudahnya
Serangan mendadak Hamas, yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera 251 orang, menjadi pemicu. Namun pembalasan Israel dinilai tidak proporsional dan membabi buta, menimbulkan bencana kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Korban tewas di Palestina telah melampaui 61.000 jiwa—mayoritas adalah warga sipil perempuan dan anak-anak—dan lebih dari 140.000 orang terluka. Infrastruktur Gaza hampir sepenuhnya hancur, menjadikan wilayah itu bak tanah tandus yang tak terbayangkan.
Kondisi kelaparan pun muncul, dengan lebih dari 500.000 orang terancam kelaparan dan lebih dari ratusan anak dipastikan meninggal akibat penyebab terkait kelaparan. Pasukan Pertahanan Israel (IDF), yang dulunya dianggap simbol moralitas militer, kini masuk dalam “daftar aib” PBB karena pelanggaran berat terhadap anak-anak—sebuah kecaman keras dari Sekretaris Jenderal António Guterres, yang menyatakan dirinya “terkejut oleh peningkatan dramatis dan skala pelanggaran berat yang belum pernah terjadi sebelumnya” di Gaza.
Kecaman global: Sekutu menjauh
Reaksi internasional berlangsung cepat dan belum pernah terjadi sebelumnya. Jerman, yang secara historis menjadi salah satu sekutu terdekat Israel, telah menangguhkan ekspor senjata ke Israel yang dapat digunakan di Gaza. Kanselir Friedrich Merz menyatakan, “Skala kehancuran dan korban warga sipil yang tak bersalah tidak lagi dapat dibenarkan atas nama pembelaan diri.” Uni Eropa juga memulai peninjauan resmi terhadap perjanjian perdagangannya dengan Israel, dengan alasan pelanggaran hak asasi manusia berdasarkan Pasal 2 Perjanjian Asosiasi UE–Israel.
Editorial tajam dari surat kabar liberal Israel "Haaretz" memperingatkan, “Dunia kini memandang kita bukan lagi sebagai korban; melainkan sebagai penindas.” Bahkan mantan diplomat Israel pun memberi peringatan, dengan sekelompok mantan duta besar menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri Netanyahu: “Anda sedang menghancurkan apa yang telah kami bangun selama 77 tahun.” Hilangnya dukungan dari sekutu-sekutu kunci ini menandai titik terendah bersejarah dalam posisi diplomatik Israel.
Pergeseran di Amerika: Kaum muda dan Yahudi berkata “Bukan atas nama kami”
Penurunan dukungan paling nyata terlihat di Amerika Serikat, di mana kampanye militer Israel membuat tingkat persetujuan publik merosot. Survei Gallup pada Juli 2025 menunjukkan hanya 32% warga AS yang menyetujui tindakan Israel di Gaza, turun drastis dari 50% pada November 2023. Di kalangan Partai Demokrat, tingkat persetujuan anjlok hingga hanya 8%, dan di antara anak muda di bawah usia 35 tahun, hanya 1 dari 10 yang mendukung respons militer Israel.
Citra Perdana Menteri Netanyahu juga merosot, dengan 52% warga AS memandangnya secara negatif—angka terburuk sejak Gallup mulai melacaknya pada 1997. Yang paling signifikan, semakin banyak warga Yahudi Amerika—terutama generasi muda—yang bersuara menentang. Slogan “Not in our name” (“Bukan atas nama kami”) menjadi seruan lantang di demonstrasi dan kampus-kampus di seluruh negeri, menandai perpecahan yang dalam dan menyakitkan di dalam diaspora Yahudi.
Runtuhnya narasi
Narasi lama Israel sebagai demokrasi bermoral yang membela diri dari terorisme kini tak lagi meyakinkan. Masuknya IDF dalam daftar hitam PBB, ditambah korban sipil yang sangat besar dan penggunaan kelaparan sebagai senjata, telah menghapus klaim moral yang selama ini dipegang. Gambar rumah sakit yang hancur, anak-anak kelaparan, dan kuburan massal kini menggantikan gambaran sebuah demokrasi liberal yang menjadi korban.
Pernyataan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer menjadi peringatan tegas: “Keputusan Israel untuk semakin meningkatkan serangan di Gaza adalah kesalahan. Itu hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah.” Di Israel sendiri, suara-suara berpengaruh seperti Gideon Levy dari "Haaretz'memperingatkan terjadinya keruntuhan moral yang mendalam, menulis: “Sebagian besar orang Israel telah kehilangan seluruh rasa kemanusiaan terhadap Gaza… Delapan puluh tahun setelah Holocaust, kita membangun kamp sementara dunia berpaling.” Kontradiksi antara nilai demokrasi yang diklaim dan kenyataan brutal di lapangan kini mustahil untuk diabaikan.
Kerusakan tak terpulihkan: Akhir sebuah era
Kerusakan pada citra Israel bukanlah sekadar masalah kosmetik—melainkan eksistensial. Krisis ini menyingkap kontradiksi mendasar dalam identitasnya. Narasi puluhan tahun sebagai negara yang lahir dari tragedi sejarah dan selalu dikepung telah runtuh di bawah bobot tindakannya sendiri. Dunia kini tak lagi melihat Israel sebagai korban, melainkan sebagai kekuatan regional yang menggunakan kekuatan berlebihan terhadap populasi sipil yang rentan.
Keputusasaan terasa, bahkan di kalangan pendukung paling setia. Ari Shavit menulis di "Haaretz" menggambarkan rasa kehilangan yang tak dapat diubah: “Kita telah melewati titik tanpa jalan kembali… Mungkin kita sebaiknya dengan tenang menyaksikan Negara Israel mengambil napas terakhirnya.” Ini bukan kebocoran lambat; ini adalah banjir besar. Arus global telah berbalik, dan citra Israel telah mengalami pukulan mematikan yang tak dapat diperbaiki dengan PR, diplomasi, atau propaganda.
“Kesayangan Barat” kini menjadi kisah peringatan tentang kesombongan dan kemerosotan moral. Kecuali Israel benar-benar memikirkan ulang jalannya, keretakan dengan sekutu-sekutu bersejarah dan komunitas internasional bisa menjadi permanen—meninggalkan perlawanan Palestina berdiri di atas “kuburan” Israel di masa depan yang jauh. (Ab)