View Full Version
Jum'at, 24 Oct 2025

Senjata, Panglima Perang, dan Tanah Terbengkalai: Strategi Israel untuk Gaza Pasca-Perang

Oleh: Muhammad Shehada

Ketika gencatan senjata di Gaza mulai terlihat, pemimpin geng proksi Israel yang dituduh terkait dengan ISIS, Yasser Abu Shabab, menuntut “perlindungan internasional,” karena takut menghadapi keadilan atas penjarahan bantuan, kolaborasi dengan Israel, dan pembunuhan warga Palestina.

Awalnya, tentara Israel menolak memberi perlindungan kepada geng kriminal ini dan berencana meninggalkan mereka, hingga Netanyahu berhasil mengubah garis penarikan dalam rencana Trump dan mempertahankan lebih dari 58% wilayah Gaza di bawah kendali Israel.

Abu Shabab kemudian terus mendapat perlindungan, dengan Israel memanfaatkan milisinya untuk melanjutkan perang dengan cara lain — memicu konflik sipil, rekayasa keruntuhan sosial, melakukan pembunuhan, spionase, penculikan, dan operasi serangan kilat di darat, sementara Israel membombardir dari udara.

Lengan Tidak Resmi Israel dalam Genosida Gaza

Dalam beberapa bulan terakhir, Israel menumbuhkan lebih banyak geng seperti Abu Shabab di Rafah di berbagai wilayah Gaza seperti Husam al-Astal di Khan Younis, Ashraf al-Mansi di Beit Lahia (utara), dan Rami Heles di timur Gaza — masing-masing memimpin kelompok yang didanai, dipersenjatai, dan dilindungi oleh Israel di 58% Gaza yang telah dikosongkan penduduknya dan sepenuhnya dikuasai militer Israel.

Geng-geng ini tidak muncul secara alami. Sejak Mei 2024, dinas keamanan Shin Bet dan tentara Israel telah mencari serta merekrut para kriminal dan buronan, terutama mereka yang melarikan diri dari penjara setelah 7 Oktober, seperti Abu Shabab.

Israel menggabungkan mereka dengan janji kekuasaan, uang, senjata, kendaraan, rumah, serta kemewahan yang tak lagi dimiliki warga Gaza seperti makanan, air, rokok, dan ponsel.

Israel memanfaatkan geng-geng ini untuk empat tujuan utama:

  1. Merekayasa kelaparan dengan membiarkan mereka menjarah hingga 90% konvoi bantuan di bawah perlindungan tentara Israel.

  2. Membuat kekacauan sosial dan kehancuran tatanan sipil.

  3. Menjalankan operasi atas nama Israel.

  4. Mengelola kamp di Rafah untuk menampung seluruh populasi Gaza yang diusir.

Strategi ini memungkinkan Israel menjaga “penyangkalan yang masuk akal” dan menyalahkan geng-geng tersebut atas kelaparan dan kekacauan di Gaza.
Taktik ini menyerupai langkah Israel di Libanon tahun 1982, ketika mereka membentuk Tentara Lebanon Selatan (SLA) untuk melakukan pembantaian Sabra dan Shatila, yang menewaskan 3.500 pengungsi Palestina. SLA runtuh ketika Israel mundur dari Libanon, dan para anggotanya melarikan diri atau diadili karena pengkhianatan.

Israel juga secara aktif maupun fasip memfasilitasi aliran senjata, uang, dan kendaraan ke klan-klan besar di Gaza sebagai taktik “pecah belah dan kuasai”, mendorong konflik internal antarwarga Palestina.

Sering kali, tentara Israel meninggalkan senjata para pejuang Hamas yang gugur, agar ditemukan dan dikumpulkan oleh klan. Dalam kasus lain, Israel menyalurkan senjata dan uang melalui perantara.

Walau banyak klan menolak menjadi proksi, Israel berharap memperlengkapi mereka akan menantang Hamas dari dalam.

Strategi Israel Gagal Total

Pada Juni 2025, surat kabar Yediot Ahronoth mengakui bahwa “taruhan Israel pada milisi Abu Shabab gagal.” Geng-geng itu berjumlah kecil (ratusan orang), dan semakin banyak anggota menyerahkan diri atau menjadi agen ganda.

Mereka juga terisolasi secara sosial, bahkan keluarga mereka sendiri menolak dan mengecam mereka. Pengaruh mereka terbatas di zona penyangga militer Israel, dan mereka gagal menarik warga Gaza pindah ke kamp mereka, meskipun kelaparan dan keputusasaan melanda.

Kegagalan Israel tampak pada dua hal utama:

  1. Popularitas Hamas meningkat kembali karena munculnya geng Abu Shabab, yang terkenal sebagai pengedar narkoba dan kolaborator ISIS. Ketakutan warga Gaza akan geng kriminal membuat efek “rally around the flag” — rakyat kembali mendukung Hamas, yang membentuk Unit Panah (Arrow Unit) untuk memburu geng-geng tersebut. Operasi keamanan Hamas setelah gencatan senjata semakin meningkatkan dukungan publik, karena dianggap memulihkan ketertiban.

  2. Hamas juga menyita ratusan senjata, puluhan kendaraan, dan uang tunai yang sebelumnya diberikan Israel kepada geng-geng dan kolaborator, sehingga Channel 12 Israel mengakui bahwa Israel justru membantu Hamas bangkit kembali.

Rencana Israel terhadap Geng-Geng Proksi

Segera setelah gencatan senjata diumumkan, Hamas mulai melucuti dan membubarkan milisi, namun empat geng utama proksi Israel dipindahkan ke belakang “garis kuning” yang membelah Gaza menjadi dua. Siapa pun yang mencoba melintasi garis itu akan ditembak mati, dan media Israel secara terbuka mengakui bahwa tentara “menjaga” dan melindungi geng-geng tersebut di “zona pemusnahan.”

Israel tidak melindungi mereka karena kesetiaan, tetapi karena mereka masih berguna.
Sejak gencatan senjata, geng-geng ini digunakan untuk mengumpulkan intelijen, merekrut kolaborator, melakukan pembunuhan, dan serangan, lalu melarikan diri kembali ke zona penyangga. Salah satu korbannya adalah aktivis Gaza Saleh Jafarawi, yang diculik dan dibunuh.

Israel juga menggunakan geng-geng tersebut untuk membangun narasi perang saudara, menggambarkan warga Palestina tak mampu memerintah diri sendiri, agar Israel bisa melanjutkan serangan udara dengan dalih “melindungi warga Gaza dari Hamas.”

Bahkan, mantan agen Mossad Avner Avraham menyebut bahwa Israel bisa melakukan operasi “bendera palsu” untuk memicu perang lagi: “Orang-orang kita menembakkan rudal dari dalam Gaza, lalu kita bilang ‘oh, ada rudal dari Gaza,’ jadi kita bisa membalas. Kita akan menghapus Gaza.”

Selain itu, Israel menggunakan geng proksi untuk menghindari tekanan rekonstruksi Gaza. Pemerintah Israel berhasil meyakinkan pemerintahan Trump bahwa pembangunan hanya boleh dilakukan di wilayah 58% yang mereka kuasai — area yang kini kosong, kecuali beberapa ratus anggota geng dan keluarga mereka. Tak ada warga Palestina yang diizinkan masuk, sehingga pembangunan itu hanyalah “desa palsu” (Potemkin Village) untuk menipu dunia seolah Gaza mulai pulih.

Myanmar pernah melakukan hal serupa pada 2023 pasca-genosida Rohingya: membangun dua “desa percontohan” untuk 314 keluarga, tanpa dapur, kamar mandi, atau makanan, hanya untuk menutupi kejahatan perang. Sementara lebih dari sejuta Rohingya tetap menjadi pengungsi.

Israel kini akan menjual citra “Desa Abu Shabab” sebagai bukti bahwa mereka “membantu warga Gaza”, padahal yang sebenarnya dilakukan adalah menyembunyikan kehancuran dan genosida terhadap dua juta warga Palestina yang masih terperangkap.

Israel tidak hanya berperang, tetapi mempertunjukkan sandiwara bagi dunia — di mana para kolaborator berpura-pura menjadi pemimpin masyarakat, dan kota hantu disulap menjadi “rekonstruksi.”

Di balik kawat berduri dan propaganda itu tersembunyi bentuk baru kekerasan kolonial: pemerintahan lewat proksi dan kehancuran yang dirancang.
Para geng itu mungkin mengenakan keffiyeh dan memegang kartu identitas Palestina, tetapi mereka beroperasi sebagai lengan tidak resmi Israel, ditugaskan bukan untuk memerintah, melainkan menghancurkan tatanan sosial dan mencegah pemerintahan yang stabil.

Jika dunia mempercayai ilusi ini, maka ia bukan hanya mengkhianati Gaza — tetapi juga memberi hadiah kepada cetak biru genosida yang menyembunyikan tangan berdarah di balik kolaborator dan bangunan palsu.

 

*Muhammad Shehada adalah penulis dan analis Palestina asal Gaza serta Manajer Urusan Uni Eropa di Euro-Med Human Rights Monitor.


latestnews

View Full Version