View Full Version
Selasa, 14 Jul 2009

Semua Bermula dari Guangzhou . . . . .

(voa-islam.com) – Darah tergenang di Urumqi. Bermula dari unjuk rasa yang digelar warga Uighur, pertumpahan darah pun terjadi. Aksi pembalasan dari ribuan warga etnik Han terjadi. Mereka bersenjatakan tongkat dan senjata lain.

Kini warga Uighur tak punya pilihan selain melarikan diri demi menyelamatkan nyawa.
”Terlalu banyak kebencian di sini.” kata Ali, pria Uighur.

Dalam melakukan pembalasan. Warga Han memburu warga Uighur tanpa pandang bulu.

”Tangkap mereka, pukul! pukul! pukul!”puluhan pria berteriak ketika melihat tiga muslim Uighur, seperti dilaporkan kantor berita AFP yang dikutip Islam Onlain.

Mendengar teriakan itu, ketiga pria tadi langsung lari tunggang langgang. Sayangnya hanya dua orang saja yang berhasil lolos. Seorang dari mereka harus menghadapi horor dan serbuan dari para penyerangnya.

Tak jauh dari Urumqi, sekitar 20 pria Han menendang dan menyerang seorang pria Uighur hingga nyaris tewas.

”Saya ketakutan pulang ke rumah malam ini.” kata Halisha, dokter mata berusia 30 tahun. ”Siapa tahu, kalau saya mempercayai tetangga atau orang-orang di jalan.” katanya, lantas memilih berdiam di kliniknya.

Inilah Xinjiang, kampung halaman bangsa Uighur. Bangsa yang terkait etnik di Asia Tengah dan Turki itu kini tak lagi menjadi tuan rumah di kampung halamannya. Imigrasi bangsa Han telah menyingkirkan mereka.

Insiden Awal

Darah yang tergenag pada 5 Juli lalu di Urumqi, Xinjiang, bermula dari insiden 26 Juni lalu di Shouguan ibu kota Propinsi Guangdong. Bentrok antar etnik Han dan Uighur meletup di sebuah pabrik mainan.

Perkelahian, seperti dilaporkan situs BBC, berlangsung selama berjam-jam. Dua orang warga Uighur tewas dan 118 orang lainnya cedera. Inilah insiden yang kemudian mendorong unjuk rasa warga Uighur,  yang menuntut keadilan. Pada 5 Juli, siapa sangka, keadaan pun tak terkendali. Kekerasan merebak dan korban pun jatuh. Aksi pun kian meluas dengan aksi balas dendam dan entah apalagi langkah yang akan diambil pemerintah Cina.

Kini tengoklah di Ibu Kota Guangdong, Guangzhou. Sejak insiden 5 Juli terjadi , media setempat memilihi pemberitaan yang sejalan dengan pemerintah Cina. Media tersebut satu suara menyebutkan, kerusuhan di Xinjiang terjadi karena manipulasi dari luar negeri. Peliputan pun di pusatkan pada penderitaan warga Han.

Bicara soal Uighur, jangan sembarangan. Itu hal tabu di Ghuangzou, seperti di tulis BBC, warga Uighur menutup rapat-rapat jatidiri mereka. Sejumlah orang-orang membuka restoran makanan di Xinjiang, memasang gambar masjid di dinding mereka, dan memperkerjakan wanita berjilbab. Namun mereka mengaku kami bukan Uighur.

”Kami dari minorotitas lain,” kata seorang pemilik restoran, tanpa menyebutkan etnik yang dimaksudnya.

Mengaku jatidiri sebagai Uighur memang bukan hal mudah. Ini karena perlakuan diskriminatif  yang kerap di terima mereka dari pemerintah Cina. Pada 2005 misalnya, sikap diskriminatif ini dilaporkan dua lembaga Hak Asasi Manusia (HAM), yang berbasis di Amerika Serikat, Human Rights Watch dan Human Rights in China.

Dalam laporan keduanya, bahwa Cina menggelar, ”kampanye penghancuran dalam menekan aspek keagamaan” muslim Uighur. Semua itu, katanya, dilakukan di bawah bendera anti separatisme dan kontra terorisme.

Kekerasan dalam bentuk apapun memang tak bisa diterima. Namun jangan pula melupakan akar kekerasan itu. Selama diskriminasi negatif terus terjadi, kekerasan akan selalu mengintai negeri ini. Entha berapa banyak lagi darah yang tertumpah.

(Sumber: koran Republika, Selasa, 14 Juli 2009)


latestnews

View Full Version