A. Dahana
(voa-islam.com) - Sedikit demi sedikit pemerintah Cina berhasil menguasai kadaan di daerah otonomi Xinjiang, khususnya di ibu kota Xinjiang Itu berkat ketrampilan polisi, militer, dan paramiliter yang memang mahir dalam melindas kerusuhan tanpa memberi ampun.
Namun, itu tak berarti bahwa ketegangan di tanah tumpah bangsa Uighur telah sirna. Perlu waktu untuk mengembalikan hubungan antarras yang diakibatkan oleh kerusuhan yang memakan korban sekitar 180 tewas, lebih dari 1.000 orang luka-luka, dan mendekati 2.000 orang terpaksa mendekam di penjara.
Tiga pekan setelah kerusuhan dapat dipadamkan, pemerintah Cina buru-buru mengatakan, bahwa konflik etnis itu dipicu oleh 'elemen-elemen kriminal', yang dihasut oleh kekuatan yang berada di luar Cina. Secara spesifik telunjuk Beijing mengarah ke dua kekuatan yang berada di luar Cina.
Pertama, organisasi separatis Republik Islam Turkestan Timur. Gerakan ini bercita-cita membentuk negara sendiri dengan cara memisahkan diri dari Cina. Pemimpinnya Isa Yusuf Alptekin yang telah meninggal pada 1995 dalam usia 94. Dengan meninggalnya Isa Yusuf, gerakan ini sebenarnya sudah tak bergigi lagi dan lebih banyak bergerak di kalangan wilayah-wilayah Islam di Asia Tengah.
Orang kedua yang dituduh Beijing sebagai provokator adalah seorang perempuan tua bernama Rebiya Kadeer. Tokoh ini tentu saja tak setenar Dalai Lama sudah menjadi ikon global. Rebiya tadinya adalah seorang pebisnis Uighur paling kondang yang memulai kegiatan cara uangnya dari berdagang kecil-kecilan. Ketika ia sudah mapan, perasaannya tergelitik membela nasib kaumnya yang makin lama makin terdesak di Tanah Airnya sendiri.
Karena berani mengeluarkan pernyataan yang mengritik kebijakan Beijing, Rebiya sempat ditahan dan mendekam di penjara selama enam tahun. Pada 2001 ia dibebaskan atas dasar kesehatan, lalu diizinkan meninggalkan Cina dan bergabung dengan suaminya yang sudah terlebih dahulu tinggal di AS.
Kini Rebiya yang tinggal di luar kota Washington DC sering mengeluarkan pernyataan yang mengritik kebijakan pemerintah Cina di Xinjiang. Dalam wawancara dengan Majalah Time, Rebiya menolak tuduhan kalau ia menjadi penyebab kerusuhan yang berlangsung selama tiga pekan sejak 5 Juli lalu. Namun, ia mengakui kalau sering memberikan pernyataan tentang ketakadilan terhadap bangsanya.
Dalam upaya meredakan kemungkinan terjadinya gejolak di kalangan masyarakat Muslim di seluruh dunia, pemerintah RRC berusaha kuat memberi gambaran bahwa di Xinjiang tak terjadi penekanan terhadap kaum Uighur, dan bahwa kerusuhan yang pecah dalam tiga minggu terakhir itu di sana sangat erat hubungannya dengan radikalisme Islam yang kini menjadi fenomena global.
Entah ini hasil lobi para diplomat Cina, pada dasarnya tak terjadi kegiatan anti Cina yang sifatnya global di dunia Islam. Letupan pertama terjadi di Turki dengan munculnya demonstrasi ke Kedutaan Besar Cina dan pembakaran bendera RRC. Bahkan, sampai Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menyerukan boikot terhadap semua produk Cina. Akan tetapi, emosi membela orang Uighur di Turki lebih mengakar pada pertalian etnis ketimbang agama.
Di Aljazair muncul ancaman dari Al Qaeda terhadap para pekerja dan teknisi Cina yang bekerja di banyak proyek di negara itu. Di Eropa Barat dan Amerika muncul juga protes, namun RRC tak menganggapnya sebagai ancaman terhadap kepentingan Cina.
Di Aljazair muncul ancaman dari Al Qaeda terhadap para pekerja dan teknisi Cina yang bekerja di banyak proyek di negara itu. Di Eropa Barat dan Amerika muncul juga protes, namun RRC tak menganggapnya sebagai ancaman terhadap kepentingan Cina.
Di Pakistan, negeri tempat kegiatan Islam radikal berkembang juga tak memperlihatkan tanda-tanda kemungkinan adanya protes. Ditengarai itu terjadi lantaran pengaruh Cina di negeri itu sangat kuat, ditambah dengan kenyataan bahwa pihak yang dianggap musuh utama dewasa ini adalah Amerika.
Justru di Indonesia protes bermunculan. Protes pertama datang dari orgnisasi Muslim Pembina Iman Tauhid Indonesia (PITI), organisasi Islam masyarakat Tionghoa. Kemudian muncul pernyataan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai Islam yang mendasarkan kegiatannya pada da'wah.
Pada saat sebelum bom di Hotel Marriott meledak sedianya sekumpulan mahasiswa dan pemuda akan berdemo di muka Kedutaan Besar Cina. Namun, rencana itu gagal setelah terjadnya peledakan di hotel yang letaknya tak jauh dari Kedutaan besar RRC di Jakarta.
Menjadi pertanyaan besar mengapa reaksi dunia Islam tak terjadi? Ada dua perkiraan yang mungkin menjadi penyebabnya. Pertama, pengaruh Cina di dunia Islam, khususnya Timur Tengah sudah demikian besar sehingga ia mampu meyakinkan pemerintah-pemerintah di wilayah itu yang umumnya konservaif, bahwa apa yang terjadi di Xinjiang adalah murni kejahatan dan tak ada hubungannya dengan agama.
Kemungkinan kedua adalah makin lunturnya ideologi, dalam hal ini Islam, dalam percaturan global. Semua negara yang ada di dunia ini makin lama makin pragmatis dan hanya berpikir pada tatanan praktis. Ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dunia tengah menghadapi ancaman resesi ekonomi. Dan semua memandang ke Cina sebagai 'juru selamat' dunia. [voa-islam.com]