RABAT (voa-islam.com): Seorang ulama Maroko telah menyerukan maklumat bahwa agama melarang konsumsi anggur, hal ini lalu ditanggapi dengan marah oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi, mereka mengatakan bahwa agama sedang dibajak untuk tujuan politik.
Para kritikus khawatir bahwa putusan ini akan menunjukkan bahwa bentuk "ekstrem" Islam sedang diperkenalkan ke negara Afrika Utara.
Sepertinya sekulerisasi kaum sekuler liberal sedang naik daun di negeri Maroko.
Fatwa, atau maklumat agama, baru-baru ini dikeluarkan oleh Ahmad A-Raisouni, seorang ulama yang beraliansi dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD), partai oposisi terbesar di Maroko, hal ini menimbulkan perdebatan yang panas pada masyarakat Maroko.
A-Raisouni menyerukan umat Islam untuk menghindari belanja di instansi yang menjual alkohol, hal ini dilarang menurut hukum Islam.
Secara hukum, alkohol tidak boleh dijual kepada umat Islam di Maroko, tapi ini jarang dipraktikkan, seorang turis Barat yang secara teratur mengunjungi negara ini mengatakan bahwa alkohol yang "dijual di pinggiran jalan" dijajakan oleh Muslim Maroko, terutama di tempat-tempat yang sering dikunjungi oleh wisatawan.
Dr Jack Kalpakian, ahli politik di Universitas Al-Akhawayn di Ifrane mengatakan fatwa itu tidak akan berpengaruh pada konsumsi atau penjualan anggur.
"Ini akan benar-benar menyebabkan lebih banyak kebencian terhadap Islam," katanya kepada Media Line. "Itu mungkin hanya mengakibatkan toko-toko penjual minuman ini sedikit gelisah."
"Ada sebuah mitos bahwa jika ada pemilu di dunia Arab, para Islamis akan menang telak," kata Dr Kalpakian. "Itu mungkin hanya terjadi di Mesir dan Yordania, tapi itu tidak akan terjadi di sini."
"Hal seperti ini dapat menjauhkan [Islam] dari seluruh masyarakat," lanjutnya. "Memang benar bahwa banyak orang Maroko yang tidak minum, tetapi minoritas besar tidak. Mereka tidak menyukai pembatasan terhadap kebebasan pribadi mereka."
Beit Al-Hikmah, sebuah asosiasi Maroko yang dibentuk dua tahun lalu bertujuan untuk mempertahankan nilai-nilai demokrasi, toleransi dan memerangi ekstremisme, mengatakan bahwa peraturan keras dari Wahhabisme, dari Islam Sunni yang dipraktikkan di Arab Saudi juga akan mereka lawan.
Khadijah A-Ruweisi, direktur Beit Al-Hikmah mengatakan ide-ide semacam ini bisa "berdampak pada spiritual keamanan Maroko dan stabilitas negara, yang sedang mencoba untuk memperkuat dialog dan demokrasi."
Agama sedang digunakan untuk melayani tujuan-tujuan politik yang menentang demokrasi, katanya kepada media lokal.
Sepertinya sekulerisasi kaum sekuler liberal sedang naik daun di negeri Maroko.
Kalpakian menjelaskan bahwa alkohol umumnya tersedia di instansi milik kelas atas dan kelas menengah.
"Negara memperoleh penghasilan dari pajak alkohol, baik produksi dalam negeri dan impor," jelasnya. "Secara teknis semua tempat ini tidak boleh menjual kepada umat Islam, tetapi kenyataannya adalah bahwa ada banyak orang yang sekuler dalam pandangan kehidupan mereka dan mereka mengkonsumsi ini, terlepas dari jumlah mereka yang termasuk ke dalam iman Islam."
Menegakkan hukum yang melarang penjualan alkohol untuk muslim akan mustahil untuk dilaksanakan, katanya.
"Jika itu diberlakukan, Anda akan memiliki biaya yang sangat besar di verifikasi dan Anda akan menciptakan pasar gelap," kata Kalpakian. "Aku akan mengatakan tiga setengah dari alkohol yang dikonsumsi di Maroko bahkan bukan alkohol resmi."
"Kalau ingin Maroko untuk mengurangi konsumsi alkohol, ini paling baik dilakukan melalui pendidikan dan dijelaskan risikonya," tambah Kalpakian. "Itu akan lebih baik daripada membuat larangan," tutupnya.
Rupanya di Maroko juga mirip Indonesia, ketika seorang ulama mengeluarkan larangan fatwa keharaman sesuatu, maka gelombang penolakan akan bermunculan dan ironisnya penentangan ini muncul sendiri dari kalangan yang mengaku "Muslim". Entah Muslim model bagaimana yang sudah tidak menurut pada seruan ulama.
[medialine]