View Full Version
Jum'at, 02 Apr 2010

Fatwa Ibnu Taimiyah Dituding sebagai Akar Radikalisasi di Dunia

TURKI (voa-islam.com) - Ulama Muslim terkemuka menyusun kembali redaksi fatwa dikeluarkan pada abad pertengahan berkaitan dengan Jihad dengan mengatakan, "Fatwa yang sering dijadikan sandaran oleh kelompok Islam radikal untuk membenarkan pembunuhan tidak dapat diterapkan di dunia yang menghormati kebebasan keyakinan dan hak-hak sipil."

Konferensi yang  diselenggarakan di Mardin  tenggara Turki mengumumkan bahwa tidak ada ruang bagi penerapan fatwa dari ahli fiqih Ibnu Taimiyah, yang hidup pada abad keempat belas, yang menuntut bersikap keras dan radikal serta membagi negeri Muslim di dunia pada abad pertengahan menjadi "Negeri Islam" dan "Negeri kafir."

Konferensi yang diselenggarakan pada akhir pekan lalu menegaskan bahwa menjadikan fatwa Ibnu Taimiyah sebagai dasar untuk dapat membunuh Muslim atau non-Muslim adalah penafsiran yang sesat.

Usama bin Laden pemimpin Al Qaeda telah berulang kali mengutip fatwa Ibnu Taimiyyah dalam seruan jihadya kepada umat Islam untuk melawan Amerika Serikat dan kekuatan barat lainnya.

"Pernyataan yang dikeluarkan dalam bahasa Arab pada akhir konferensi, yang salinannya dalam bahasa Inggris diperoleh Reuters  menambahkan bahwa setiap kelompok Muslim atau individu Muslim tidak diizinkan menyatakan perang atau terlibat dalam jihad sendiri.

Deklarasi ini merupakan upaya terakhir yang dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim untuk menjadikan teks-teks Islam yang berusia-tua sebagai dasar untuk membantah argumen agama dari kelompok Islam  saat ini.

Seorang ahli hukum senior Pakistan menerbitkan di London awal bulan ini, sebuah fatwa melawan terorisme setebal 600 halaman.

Ulama tersebut mengatakan bahwa fatwa tersebut mungkin tidak dapat meyakinkan para militan tapi mungkin bisa berguna untuk menjauhkan Muslim yang belum menempuh manhaj radikal ini untuk tidak mendukung para militan.

Sebanyak 15 ulama terkemuka dari beberapa negara telah ikut serta dalam konferensi Mardin tersebut termasuk Arab Saudi, Turki, India, Senegal, Kuwait, Iran, Maroko, Indonesia dan diantara pesertanya adalah mufti agung Bosnia, Syekh Mustafa Ceric, Syeikh Abdullah bin Bey dan Syekh Habib Ali Jafri dari Yaman.

Fatwa Ibnu Taimiyah adalah teks yang terkenal di antara para militan yang mengijinkan Muslim untuk mengkafirkan  Muslim lainnya dan menyatakan perang terhadap mereka.

Para ahli fiqih mengatakan bahwa pendapat ini harus dilihat dalam konteks historisnya ketika Mongol  menyerbu wilayah muslim.

Tapi ulama Muslim mengatakan bahwa konferensi itu terkait dengan fakta yang berlebihan dalam pendapat klasik yang membagi dunia Islam menjadi dua bagian dan untuk re-interpretasi Islam dalam situasi politik yang telah berubah.

Deklarasi ini mengatakan bahwa munculnya negara-negara berperadaban yang melindungi hak-hak agama, etnis dan kebangsaan menuntut seluruh dunia dijadikan sebagai tempat toleransi dan hidup berdampingan secara damai antara semua faksi dan kelompok agama.

Aref Ali Nayed, yang mengepalai Yayasan Penelitian dan penerangan "Alkalam" di Dubai, pusat penelitian yang mengkhususkan diri pada kajian agama dalam konferensi mengatakan bahwa kerajaan Islam bukan merupakan model utama bagi dunia di era globalisasi, dimana batas menjadi sesuatu yang tidak memiliki karakter yang lebih.

Pernyataan itu diakhiri dengan seruan kepada semua ulama Muslim untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan konteks fatwa yang dikeluarkan pada Abad Pertengahan berkaitan dengan masalah-masalah umum dan menunjukkan apa pemahaman yang tepat dan benar yang patut dicapai  dari warisan ini. [ar/alarabiya]


latestnews

View Full Version