MINDANAO (Voa-Islam.com) - Perang yang berkepanjangan di selatan Philipina menjadi bahan bakar peningkatan perdagangan manusia dari wilayah tersebut. Banyak dari mereka yang lebih memilih untuk keluar dari daerah konflik dengan harapan untuk dapat hidup yang lebih baik, meskipun hal itu ilegal dan sangat beresiko, mereka akan mengambil resiko tersebut.
Shahana (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu dari mereka yang lebih memilih untuk melakukan hal itu. Ia masih berusia 14 tahun ketika melakukan perjalanan pertamanya keluar negeri untuk bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di Kuwait.
Seluruh dokumen-dokumennya palsu, yang memungkinkannya untuk meninggalkan negara sebagai orang yang belum dewasa. "Perang membuat keluarga saya tidak mungkin untuk bertahan. Kami tidak dapat lagi bertani sebab kami kehilangan tanah kami. Pergi keluar negeri satu-satunya harapan kami." Shahana berasal dari Shariff Aguak, sebuah kotamadya di provinsi Philipina yang dirobek oleh perang, Mindanao.
Laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun 2009 mennunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah wanita dan anak-anak dari Mindanao yang diperdagangkan secara internal dan trans-internasional sebagai pekerja domestik. Para pelaku traficking menggunakan transportasi darat dan laut untuk mengirim para korban dari provinsi kepulauan ke kota--kota besar.
..Perang membuat keluarga saya tidak mungkin untuk bertahan. Kami tidak dapat lagi bertani sebab kami kehilangan tanah kami. Pergi keluar negeri satu-satunya harapan kami..
Sherryl Luceno, kordinator daerah untuk cabang Zamboanga dari Visayan Forum Foundation (VFF), sebuah organisasi non pemerintah yang menyelamatkan dan mencegah orang-orang dari korban perdagangan mengatakan kepada IRIN. "kemiskinan yang ekstrim adalah cukup buruk, namun digabung dengan perdamaian yang tidak stabil dan situasi ketertiban, banyak yang menjadi putus asa. Bahkan jika mereka direkrut secara ilegal, mereka akan mengambil resiko tersebut."
Perang Belum Akan Berakhir
Hampir empat dekade konflik bersenjata di Mindanao antara pasukan pemerintah dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) yang berjuang untuk memisahkan diri telah menghambat pertumbuhan provinsi yang kaya bahan tambang tersebut.
Menurut Program Pembangunan PBB, peringkat tujuh dari sepuluh provinsi yang pembangunan kemanusiaan negaranya paling buruk adalah Mindanao.
Rata-rata nasional, jumlah penduduk dengan biaya hidup kurang dari US $2 sehari adalah 45%, sebuah angka perkiraan yang bisa lebih tinggi di Mindanao.
Pada Agustus 2008, permusuhan baru pecah ketika sebuah memorandum yang akan memberikan MILF kontrol atas wilayah yang mereka klaim sebagai tanah leluhur dibatalkan oleh Pengadilan Tertinggi Philipina. Hampir 400 oang terbunuh dan 700,000 orang lainnya menjadi pengungsi akibat hal ini.
Data yang dikumpulkan oleh Kantor Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial Provinsi Mindanao dan Jaringan Tanggap Darurat Mindanao menunjukkan bahwa 174,370 orang masih mengungsi pada Desember 2009.
Internal Displacement Monitoring Centre memperkirakan bahwa puluhan ribu masih tinggal dengan masyarakat lokal namun hitungan tersebut dilaporkan dihentikan oleh pemerintah.
Pintu Belakang
Zamboanga, kota pelabuhan di bagian selatan Philipina dikenal sebagai pintu belakang dari negara tersebut, menawarkan lintasan yang mudah untuk pergi ke Malaysia.
Banyak gadis-gadis diambil keluar negeri dari pelabuhan-pelabuhan swasta yang tidak berada dibawah yuridiksi dari penjaga pantai, dan dibawa ke Malaysia. Dari sana mereka dibawa ke negara timur tengah," kata Luceno.
..mereka mengidentifikasi 98 orang korban, berasal zona wilayah perang seperti Basilan dan Sulu..
Pergerakan dari satu pulau ke pulau lain di kepulauan Philiipina sangat umum, membuat itu sangat mudah bagi para pelaku perdagangan manusia. "Mereka hanya mengatakan kepada petugas pelabuhan bahwa mereka menyebrang ke Tawi-tawi untuk melihat keluarga sehingga mereka tidak akan diminta pengecekan surat -surat identitas atau pasport.
Berdasarkan data yang disusun oleh VFF sejak akhir Mei lalu, mereka mengidentifikasi 98 orang korban, berasal zona wilayah perang seperti Basilan dan Sulu.
Meskipun tidak ada data resmi untuk melacak jumlah orang yang diperdagangkan per tahun, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan sekitar 800,000 orang Philipina di jual ke luar negerinya setiap tahun dan sebagian besar dari mereka adalah perempuan.
Sebuah Undang-undang Anti Perdagangan Manusia sebenarnya telah disahkan pada tahun 2003 namun sejak itu hanya 13 kasus yang sampai ke meja hukum.
Jumlah menyedihkan dari penghukuman tersebut berkaitan dengan faktor endemik sistem hukum di Philipina, seperti korupsi, dan pergantian hakim yang tinggi, dan kurangnya bukti yang tepat.
"Sangat sulit untuk menuntut para trafficker di titik keberangkatan sebab anda perlu membuktikan bahwa perdagangan akan benar-benar terjadi," kata Darlene Pajarito, Asisten ketiga Jaksa Kota Zamboanga, kepala dari Pusat Bantuan Penumpang Luar Negari, yang membantu untuk meyelidiki, mencegat korban dan menuntut para pelaku Trafficker pada titik dari keberangkatan.
"Hukum ini tidak menghalangi para trafficker. Ini bisnis menguntungkan bagi para trafficker, yang mendapat US $750 untuk tiap gadis. Anda dapat bayangkan berapa besar yang mereka dapat dari sekelompok gadis berjumlah 10 orang," Pajarito menambahkan. (IRIN)