BAMA, NIGERIA (voa-islam.com) - Anggota dari kelompok pejuang Islam Nigeria Boko Haram yang dipersenjatai dengan senapan mesin mengepung di kota timur laut Bama, Selasa (7/5/2013), membunuh 38 petugas keamaan dan membebaskan lebih dari 100 tahanan penjara, kata militer.
Sekitar 200 anggota Boko Haram bersenjata berat tiba dengan bus dan truk pick-up dan melakukan serangan terkoordinasi, pertama kali menyerang barak militer dan kantor polisi sebelum membobol penjara kota, juru bicara militer Sagir Musa kepada Reuters.
Musa mengatakan 22 petugas polisi, 14 petugas penjara, dua tentara dan empat warga sipil tewas, sementara 13 anggota kelompok Boko Haram juga gugur, dalam apa yang merupakan salah satu serangan tunggal paling mematikan dari para pejuang Islam sejak pemberontakan dimulai tahun 2009.
Orang-orang bersenjata membebaskan 105 tahanan dalam serangan yang dimulai sekitar pukul 05:00 pagi dan berlangsung hampir lima jam, kata Musa. Dia mengatakan beberapa penyerang mengenakan seragam tentara.
Kantor-kantor polisi Bama, barak-barak tentara dan bagunan-bangunan pemerintah dibakar, katanya.
"Mereka datang dalam seragam tentara berpura-pura dan menjadi tentara namun mampu dideteksi," kata Musa.
Bama adalah kota terpencil di negara bagian timur laut Borno, negara bagian asal Boko Haram dan inti serangan kelompok itu.
Kelompok Boko Haram dan cabang terkait Al-Qaidah seperti Ansaru, serta jaringan-jaringan kriminal yang terkait, menimbulkan ancaman utama bagi stabilitas di negara produsen energi terbesar Afrika tersebut.
Pemerintah Barat semakin khawatir tentang pejuang Islam Nigeria yang memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok jihad lainnya di wilayah Afrika Barat.
Boko Haram ingin memberlakukan hukum Islam di negara yang terbagi kira-kira sama antara Kristen dan Muslim. Salah satu tuntutan utamanya adalah bahwa para anggotanya dan anggota keluarga mereka yang dipenjarakan dilepaskan dan kelompok itu telah melakukan beberapa kali pembobolan penjara untuk membebaskan mereka.
Serangan oleh Boko Haram telah menewaskan lebih dari 3.000 orang sejak 2009, berdasarkan angka-angka dari Human Rights Watch. (an/Reuters)