Catatan Perjalanan R4Peace (Bagian VIII)
Harus diakui, sedikit sekali dunia menggali akses pemberitaan tentang apa yang terjadi di Thailand Selatan, meliputi: Pattani, Yala dan Narathiwat. Kita menduga ada kebebasan pers yang dipasung pihak Kerajaan Thailand. Benarkah?
Dikatakan Tuandaniya, seorang jurnalis Aman News Agency.com, media lokal di Pattani dan sekitarnya, usai audiensi dengan tim Road For Peace (R4P) di Majelis Ugama Pattani, tidak terlalu banyak maklumat atau kabar dari empat saluran TV berbahasa Thai tentang pemberitaan di Thailand Selatan.
“Kalau pun ada siaran radio dengan bahasa melayu di 4 propinsi, tidak bisa keluar. Saat ini, tidak ada surat kabar berbahasa melayu. Banyak masyarakat yang memanfaatkan jejaring sosial media seperti Facebook, Twitter hingga Blog, sehingga lebih tersebar ketimbang media lokal yang ada di Pattani,” ujar Tuandaniya.
Ada kelemahan di masyarakat dalam berbahasa. Orang Thai sendiri tak bisa berbahasa Melayu dan Inggris. Sehingga informasi tak sampai di kalangan masyarakat Thai.
Ketika ditanya tentang kebebasan pers d Pattani, dikatakan Tuandaniya, di sini kebebasan pers tidak dikontrol oleh kerajaan Thai. Sudah sembilan tahun, belum ada media yang ditutup oleh pemerintah.
“Melalui radio, kami boleh bercakap dengan bebas. Kami sampaikan pergolakan yang terjadi di Pattani, Yala dan Narathiwat. Bahkan sudah ada Al jazera, AFP dan BBC yang memberitakan apa yang terjadi di Thailand Selatan dengan bahasa Inggris. Kita memberitakan berdasarkan fakta, bukan rekayasa,” katanya. Perlu diketahui, di Thailand Selatan ada beberapa majalah Islam dan politik.
Tuandaniya menjelaskan, harapan rakyat Pattanu adalah menghendaki perdamaian. Dan rakyat punya hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Menyebut Fathoni atau Freedom kini bukanlah hal yang tabu lagi. Sebelumnya kata merdeka adalah ucapan haram alias terlarang. Terlebih bicara soal sejarah Pattani. Seperti diketahui, Kerajaan Thai tak suka menyebut Pattani atau Melayu Pattani, tapi lebih kepada masyarakat Thai Muslim. [desastian]