Angola (voa-islam.com) - Tindakan intoleransi terhadap muslim di Angola yang diikuti pembongkaran dan penutupan sejumlah masjid didasari keputusan pemerintah meninjau ulang undang-undang kebebasan beragama di negerinya.
Dikutip The Associated Press, salah seorang perwakilan umat islam, David JA menyatakan telah terjadi penganiayaan politik dan tindakan intoleran terhadap muslim di Anggola. Bahkan JA menegaskan bahwa pemerintah sejak September lalu telah menutup dan membongkar beberapa masjid di seluruh negeri.
Seorang imam di salah satu masjid di Ibukota Luanda, Muhammad Matthews kepada al Jazeera mengaku adanya diskriminasi terhadap muslim Angola dan adanya 50 masjid yang ditutup di sana. Dia menuduh, umat Katolik berada di belakang keputusan pemerintah Angola tersebut, karena kekhawatiran penyebaran Islam.
Padahal, menurut Matthews, umat Muslim terus berusaha menjaga hubungan baik dengan pemerintah Angola. Dia menjelaskan bahwa para imam meminta umat Islam untuk tidak ikut serta melakukan demonstrasi yang diorganisir keoompok oposisi baru-baru ini.
Pemberitaan ini telah membuat sejumlah organisasi Islam berang. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menyatakan sangat kaget atas informasi tersebut. OKI menyerukan kepada PBB dan Uni Afrika dan Masyarakat Pembangunan Afrika Selatan dan CPLP dan masyarakat internasional untuk mengambil sikap tegas pada keputusan Pemerintah Angola tersebut, yang merupakan pelanggaran mendasarterhadap Hak AsasiManusia (HAM) dan kebebasan fundamental yang diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Di sisi lain, Direktur Institut Nasional untuk Urusan Agama Departemen Kebudayaan Manuel Fernando mengatakan bahwa“tidak ada perang di Angola pada agama Islam atau agama lain."
Dia mengomentari reaksi kemarahan di dunia Islam setelah publikasi laporan dikaitkan dengan Menteri Kebudayaan Rosa Cruz e Silva dalam hal ini, kata Fernando kepada pers Prancis bahwa tidak ada intruksi rersmi di Angola untuk pembongkaran atau penutupan tempat ibadah apapun.
Terakhir, seorang pejabat di Kedutaan Angola di Washington DC , mengatakan bahwa tidak ada larangan seperti itu, dan menyatakan bahwa laporan itu tidak benar. ”Republik Angola adalah negara yang tidak mengganggu urusan agama ,” kata pejabat itu melalui telepon Senin sore.
Anggola adalah negara berpenduduk 18 juta jiwa. mayoritas penduduknyaberagama Kristen. Sementara jumlah kaum muslimin di sana sekitar 90 ribu jiwa. Di sana terdapat 83 gereja yang diakui secara resmi. Pada akhir Oktober kemarin, Departemen Kehakiman menolak permintaan legal formal yang diajukan oleh 194 lembaga keagamaan, termasuk komunitas Muslim. [PurWD/Al Jazeera/voa-islam.com]