NAIROBI, KENYA (voa-islam.com) - Seorang pejabat senior PBB mengatakan bahwa di ibukota Somalia Mogadishu hari ini lebih berbahaya bagi para pekerja kemanusiaan untuk melakukan tugasnya dibangingkan ketika bagian-bagian kota itu dikuasai oleh kelompok mujahidin Al-Shabaab.
Situasi ini membuat sangat sulit bagi para pekerja bantuan untuk memberi pertolongn hampir 370.000 orang pengungsi internal (IDP), terutama perempuan dan anak-anak, yang tinggal di kamp-kamp kumuh yang tersebar di seluruh Mogadishu dan diteror oleh milisi-milisi pro pemerintah yang menjalankan kamp-kamp tersebut, Edem Wosornu, pejabat pelaksana kantor untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan Somalia (OCHA), mengatakan kepada Thomson Reuters Foundation.
Al-Shabaab menguasai sebagian besar Somalia selatan dari tahun 2006 hingga 2011, ketika pasukan Misi Uni Afrika di Somalia (AMISOM) mengusir mereka keluar dari Mogadishu dan daerah perkotaan lainnya.
Meski demikian, mujahidin Al-Shabaab masih bisa melakukan serangan dengan target bagian ibukota yang dikuasai pemerintah, dan juga di seluruh kawasan tersebut, sesuka hati mereka.
"Saya telah meliput Somalia selama tiga tahun terakhir dan ini adalah yang terburuk," kata Wosornu.
"Ini bahkan lebih buruk dibanding ketika Al-Shabaab memegang kendali mayoritas distrik di Mogadishu karena Anda tahu daerah mana yang tidak aman untuk pergi dan daerah mana yang disebut aman. Ketika anda berkendara dengan Casspirs [kendaraan lapis baja yang melindungi dari ranjau darat] dengan pasukan AMOSOM, Anda tahu bahwa Anda berada di semacam zona perang."
Misi kemanusiaan memperluas kehadiran mereka di Mogadishu setelah Al-Shabaab diusir dari kota tersebut dan merelokasi staf yang telah bekerja dari tetangga Kenya.
Sebuah serangan di kompleks utama PBB di Mogadishu pada bulan Juni tahun lalu, yang menewaskan sedikitnya 22 orang, bagaimanapun telah merubah permainan.
"(Serangan) 19 Juni merupakan pukulan mutlak," kata Wosornu. "Seluruh landscape berubah."
OCHA memiliki 22 staf yang berbasis di Mogadishu pada waktu itu, termasuk sembilan staf internasional. Enam berada di kompleks PBB ketika diserang, katanya, dan sebagai akibat dari serangan itu OCHA mengurangi staf di ibukota hingga menjadi dua.
Hingga kini Situasi keamanan tetap genting di ibukota. Dalam beberapa pekan terakhir, Mogadishu telah dilanda serangkaian bom jibaku, termasuk serangan terhadap kompleks presiden pada 21 Februari yang menewaskan sedikitnya 11 orang.
Uganda berencana untuk mengirim sekitar 400 tentara tambahan untuk melindungi personil PBB di Mogadishu sebagai tanggapan atas permintaan PBB.
Serangan itu membuat sulit pekerja kemanusiaan untuk menjangkau mereka yang membutuhkan.
Mogadishu adalah rumah bagi sekitar 369.000 pengungsi, yang tinggal di ratusan permukiman kumuh yang tersebar di seluruh kota. Sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak yang telah melarikan diri dari kelaparan dan perang.
Milisi pro pemerintah yang menjalankan kamp-kamp kumuh tersebut sering memperkosa perempuan dan anak perempuan di tenda-tenda mereka dan memeras bantuan untuk pengungsi, para pekerja bantuan mengatakan.
"Para pengungsi hidup dalam kondisi menyedihkan," kata Wosornu. "Kamp-kamp cukup mengerikan."
Dia mencoba untuk mengunjungi salah satu kamp pada 12 Februari dengan direktur operasi OCHA John Ging.
"Ketika kami berada di kamp kami mendengar suara tembakan, dan Departemen Keselamatan dan Keamanan PBB harus meminta kami untuk keluar dari kamp segera," katanya.
"Ketidakamanan di Mogadishu tidak memungkinkan kita untuk melakukan pekerjaan kita dengan cara yang kita inginkan ... Ini bukan pengiriman bantuan besar karena kita memiliki masalah keamanan serius." (by/harar)