WASHINGTON (voa-islam.com) - Amerika Serikat mengatakan pada hari Rabu (30/4/2014) bahwa sementara "organisasi inti" Al-Qaidah yang berbasis di Pakistan telah rusak parah, afiliasi kelompok jihad global itu di Afrika dan Timur Tengah menjadi lebih "otanomi secara operasional" dan agresif.
Departemen Luar Negeri mengatakan dalam laporan tahunan global terhadap terorisme bahwa organisasi pusat Al-Qaidah, di bawah kepemimpinan Syaikh Ayman al Zawahiri, telah "jauh berkurang" oleh upaya-upaya internasional dan telah kehilangan banyak pemimpin senior.
Namun laporan itu mengatakan ketidakstabilan dan pemerintah lemah di Timur Tengah dan Afrika Utara telah mengaktifkan afiliasi Al-Qaidah dan kelompok-kelompok yang memiliki pikiran sama dengan Al-Qaidah untuk "memperluas dan memperdalam operasi mereka" di Yaman, Suriah, Irak, Afrika Utara dan Somalia.
Kelompok-kelompok seperti Taliban Afghanistan dan Pakistan dan jaringan Haqqani terus menyerang Amerika dan target lokal di kedua sisi perbatasan Afghanistan / Pakistan, dan Lashkar-e-Tayba yang berbasis di Pakistan percaya kepentingan AS adalah "sasaran sah untuk diserang," kata laporan itu.
Ribuan mujahidin, beberapa dari mereka berbahasa Inggris, telah melakukan perjalanan ke Suriah untuk berlatih dan bertempur dengan kelompok-kelompok yang memerangi Presiden Bashar Al-Assad, menurut laporan tersebut.
Beberapa telah bergabung "kelompok-kelompok ekstremis kekerasan," dan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya khawatir mereka mungkin merencanakan serangan ketika mereka kembali ke negara masing-masing, katanya.
Laporan itu mengatakan berbagai otoritas nasional telah memperkirakan bahwa pada tahun 2013 ratusan mujahid asal Eropa telah pergi ke Suriah, diantaranya 90 dari Denmark, 184 dari Prancis, 240 dari Jerman, 30-40 dari Norwegia, 100-200 dari Belgia, dan 75 dari Swedia.
Sumber-sumber pemerintah Inggris telah memperkirakan bahwa sedikitnya 400 warga Inggris telah masuk dan keluar dari konflik tersebut, dengan hingga 250 orang berpartisipasi dalam jihad pada satu waktu. (by/Reuters)