PARIS, PRANCIS (voa-islam.com) - Prancis bisa melakukan intervensi militer di Libya dalam tiga bulan ke depan, seorang sumber diplomatik Arab menginformasikan kepada Asharq Al-Awsat ketika Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian memberikan indikasi terkuat bahwa Paris sedang mempertimbangkan langkah tersebut.
Berbicara setelah pertemuan dengan Presiden Niger Mahamadou Issoufou, Le Drian mengatakan: "Libya adalah dalam kekacauan hari ini dan itu adalah tempat berkembang biak bagi teroris (baca;mujahidin) yang mengancam stabilitas Niger dan, lebih jauh, Prancis."
"Kami berpikir bahwa saat ini telah datang untuk memastikan bahwa masyarakat internasional menangani masalah Libya. Saya rasa ini juga apa yang Presiden Issoufou percaya," tambahnya.
Presiden Niger secara eksplisit menyerukan intervensi militer di Libya, posisi yang didukung oleh sejumlah negara Afrika lainnya termasuk Mali dan Senegal.
Pernyataan Le Drian datang pada hari yang sama bahwa seorang diplomat Arab, berbicara kepada Asharq Al-Awsat pada kondisi anonimitas karena ia tidak berwenang untuk memberi keterangna pers, mengatakan bahwa pertanyaan itu bukan lagi apakah Prancis akan melakukan intervensi militer di Libya, tetapi kapan.
"Saya siap untuk bertaruh bahwa intervensi ini akan berlangsung dalam waktu tiga bulan," kata diplomat itu.
Sumber-sumber diplomatik Arab dan Perancis menginformasikan kepada Asharq Al-Awsat bahwa ada perbedaan pendapat antara kementerian pertahanan Prancis dan kementerian dalam negeri lebih bagaimana menghadapi situasi di Libya, dengan Departemen Pertahanan Prancis mendukung intervensi militer.
Menteri Pertahanan Prancis mengeluarkan pernyataannya saat tur di pangkalan militer terpencil Prancis di Niger utara, dekat dengan perbatasan Libya. Namun Le Drian tidak mengatakan secara terbuka mendukung intervensi militer yang disebut oleh kekuatan regional.
Libya adalah di tengah-tengah krisis politik dan keamanan, dengan pemerintah saingan dan pasukan militer mengendalikan berbagai bagian negara itu. Parlemen Abdullah Al-Thani yang diakui oleh Barat dan bermarkas di Tobruk, sementara pasukan Islam, dijuluki Fajar Libya, telah membentuk parlemen dan pemerintah saingan di ibukota Tripoli.
Pejuang Fajar Libya meluncurkan serangkaian serangan roket pada beberapa terminal minyak terbesar di negara itu pada akhir Desember, menybabkan kebakaran tangki minyak dan menyebabkan produksi minyak menurun, mendorong kekhawatiran internasional atas situasi keamanan yang memburuk di negara itu.
Meskipun ada seruan internasional untuk dialog nasional, kekerasan terus meningkat dengan gurun selatan Libya menjadi benteng bagi kelompok-kelompok bersenjata, termasuk beberapa yang memiliki hubungan dengan Al-Qaidah. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran bagi Prancis dan sedang memutuskan untuk kembali campur tangan secara militer di negara itu sebagaimana yang pernah mereka lakukan sebelumnya di Mali. (an/ara)