JALUR GAZA, PALESTINA (voa-islam.com) - Pemilihan Ismail Haniyeh sebagai kepala baru biro politik Hamas mengantar era baru bagi kelompok perlawanan Palestina tersebut, para analis meyakini.
Haniyeh, mantan perdana menteri, terpilih sebagai pemimpin kelompok itu dalam pemungutan suara yang diadakan Sabtu di Jalur Gaza dan Qatar secara bersamaan melalui konferensi video.
Dia akan menggantikan Khaled Meshaal, yang telah menjadi pemimpin Hamas sejak 1996.
Pemilu sendiri dilakukan beberapa hari setelah Hamas mengumumkan sebuah anggaran dasar yang direvisi yang membuang janjinya untuk menghancurkan Israel dan menerima sebuah negara Palestina di sepanjang perbatasan yang ditetapkan sebelum Israel menduduki Tepi Barat dan Gaza selama perang Arab-Israel 1967.
"Haniyeh adalah sosok yang karismatik dan populer di dalam dan luar negeri," kata Mukhemar Abu Saada, seorang profesor ilmu politik di Universitas Al-Azhar yang berbasis di Gaza, kepada Anadolu Agency Senin (8/5/2017).
"Dia juga seorang politisi moderat," katanya, berharap pemimpin baru Hamas tersebut akan berusaha untuk memperkuat hubungan kelompok itu dengan negara-negara Arab Sunni.
Haniyeh kelahiran Gaza, 54, membawa Hamas meraih kemenangannya dalam pemilihan parlemen Palestina 2006.
Dia ditunjuk sebagai perdana menteri setelah kemenangan pemilihan kelompok tersebut, namun kemudian dipecat oleh Presiden Mahmoud Abbas setelah Hamas menguasai Gaza setelah melakukan pertikaian berdarah dengan kelompok saingan Fatah.
Anggaran dasar yang telah direvisi
Sementara itu Mustafa Ibrahim, seorang analis politik, melihat tantangan terbesar bagi Haniyeh akan memasarkan anggaran dasar Hamas yang direvisi.
"Label terorisme adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Hamas, yang berusaha, melalui piagamnya, untuk memberi tahu dunia bahwa ini adalah kelompok nasionalis," katanya.
"Hamas juga menjauhkan diri dari Ikhwanul Muslimin, yang ditargetkan di banyak negara," kata Ibrahim.
Analis tersebut mencatat pendudukan Israel selama beberapa dekade dan rekonsiliasi antar-Palestina sebagai salah satu tantangan yang dihadapi pemimpin Hamas yang baru.
Abu Saada menggemakan pendapat yang sama.
"Kami dapat melihat upaya Haniyeh untuk mendekati Mesir dan negara-negara Arab lainnya dalam upaya untuk memasarkan anggaran dasar baru Hamas," katanya.
Namun demikian, dia mengesampingkan terobosan apa pun dalam hal menghapus Hamas dari daftar teror oleh Barat.
"Hamas bisa berhasil menyingkirkan sayap politiknya, bukan sayap militer, dari daftar teror," katanya.
Hamas diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh AS, EU dan Israel.
"Hamas secara historis tidak diklasifikasikan sebagai kelompok teroris sampai intifada Palestina ke-2 pada tahun 2000 ketika kelompok tersebut melakukan serangan terhadap warga sipil Israel," Abu Saada mengatakan.
Tidak ada perubahan kebijakan
Analis politik Mustafa al-Sawwaf, untuk bagiannya, mengesampingkan perubahan kebijakan di bawah Haniyeh.
"Pemimpin Hamas tidak bisa melanggar keputusan oleh institusi dan pimpinan kelompok tersebut," katanya. "Mereka hanya alat untuk menerapkan keputusan kelompok."
Namun analis politik Hamza Abu Shanab memperkirakan Hamas akan lebih terbuka terhadap kelompok saingan Fatah dalam hal rekonsiliasi antar-Palestina.
"Memperkuat hubungan antara Hamas dan Mesir dan Iran juga akan menjadi prioritas," katanya.
Hubungan Hamas dengan Mesir telah tegang menyusul kudeta tahun 2013 melawan presiden Mesir dan pemimpin Ikhwanul Muslimin, Muhammad Mursi.
Hubungan antara Hamas dan Iran juga menukik tajam menyusul dukungan kelompok tersebut untuk revolusi Suriah melawan rezim teroris Bashar Al-Assad, yang didukung oleh Syi'ah Iran. (st/aa)