BRUSSELS, BELGIA (voa-islam.com) - Uni Eropa telah mendesak Myanmar untuk melindungi para wartawan dari "intimidasi, penangkapan atau penuntutan" setelah sejumlah wartawan ditahan di negara itu.
Uni Eropa mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin (3/7/2017) bahwa hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin untuk semua orang.
"Ini merupakan salah satu fondasi penting masyarakat demokratis," bunyi pernyataan tersebut.
"Oleh karena itu, kami meminta pemerintah Myanmar memberikan perlindungan hukum yang diperlukan agar jurnalis dapat bekerja di lingkungan yang bebas dan memungkinkan tanpa takut intimidasi, penangkapan atau penuntutan," tambahnya.
Uni Eropa mengatakan bahwa penangkapan dan penuntutan terhadap wartawan telah mencapai "angka yang mengkhawatirkan" dalam beberapa bulan terakhir.
Perkembangan tersebut terjadi setelah beberapa kasus wartawan mengalami masalah dengan hukum, termasuk tiga orang yang ditahan tentara pekan lalu. Para wartawan itu dituduh melanggar Undang-undang Asosiasi Perundang-undangan yang melanggar hukum zaman kolonial.
Militer Myanmar sebelumnya mengatakan ketiga wartawan tersebut telah berkomunikasi dengan sebuah kelompok "yang saat ini menentang peraturan negara tersebut menggunakan senjata."
Para wartawan itu telah meliput pembakaran obat-obatan terlarang oleh Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang untuk menandai Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan Narkoba.
Tiga jurnalis terkemuka tersebut dipenjara di kota timur laut Hsipaw. Sidang pertama dalam kasus mereka adalah pada tanggal 11 Juli.
Dalam kasus serupa, Kyaw Min Swe, seorang editor harian Voice, ditahan bulan lalu karena sebuah artikel yang mengejek militer.
Sebagian besar kasus terhadap wartawan disebabkan oleh dugaan pelanggaran undang-undang telekomunikasi berjejaring yang dicela oleh pemantau hak sebagai pelanggaran kebebasan berbicara.
Wartawan memprotes ancaman kebebasan pers mengatakan bahwa agen intelijen militer telah memotret mereka.
Mereka mengatakan bahwa perkembangan tersebut merupakan pengingat akan masa pemerintahan militer yang keras ketika tidak ada oposisi yang dapat ditolerir.
Para wartawan dan kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa keuntungan yang dicapai dalam kebebasan pers sejak akhir dekade rezim militer ketat berisiko diputarbalik.
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi tidak berkomentar mengenai tiga atau beberapa kasus wartawan lainnya yang melanggar hukum.
Bereaksi terhadap perkembangan tersebut, juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, mengatakan bahwa setiap orang "harus diperlakukan sesuai dengan hukum."
Ini terjadi karena Myanmar telah lama mendapat kritik internasional atas perlakuannya terhadap Muslim Rohingya, yang ditolak kewarganegaraannya dan tinggal dalam kondisi sangat memprihatinkan yang kelompok hak asasi dibandingkan dengan kaum Kulit Hitam di bawah rezim apartheid mantan di Afrika Selatan. (st/ptv)