KUALA LUMPUR, MALAYSIA (voa-islam.com) - Anggota parlemen Malaysia pada hari Rabu (8/11/2017) meminta perusahaan energi negara Petroliam Nasional Bhd, atau Petronas, untuk keluar dari beroperasi dan investasi di Myanmar untuk memprotes kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Petronas adalah salah satu pengusaha terbesar di Malaysia dan satu-satunya perusahaan Fortune 500 di negara tersebut. Perusahaan ini memiliki beberapa blok gas alam di Myanmar dan juga pipa lintas batas yang mengangkut gas ke Thailand.
Ratusan ribu Muslim Rohingya telah meninggalkan negara bagian Rakhine di Myanmar yang beragama Budha sejak pasukan keamanan menanggapi serangan pejuang Rohingya pada bulan Agustus dengan sebuah tindakan keras yang dilaporkan telah menyebabkan pembunuhan yang meluas, pemerkosaan dan pembakaran desa Rohingya. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengecam tindakan keras tersebut sebagai contoh klasik pembersihan etnis.
Lebih dari 40 anggota parlemen Malaysia menandatangani sebuah petisi yang bertanggal 8 November yang meminta Petronas untuk "melepaskan setiap dan semua partisipasi dalam bentuk operasi apapun di Myanmar" mulai tahun depan dan seterusnya, kecuali pemerintah Myanmar "mengakui bahwa minoritas etnis Rohingya adalah warga negara Myanmar yang sah, (dan) segala macam intimidasi, penundukan, diskriminasi dan kejahatan terhadap mereka segera dihentikan."
Petisi parlemen tersebut menyusul sebuah pernyataan pada hari Selasa dari sebuah kelompok nirlaba yang disebut Kampanye Internasional untuk Rohingya yang mengatakan telah mengirim sebuah petisi kepada Petronas untuk meminta perusahaan energi tersebut untuk keluar dari Myanmar.
Malaysia adalah salah satu kritikus terkuat di wilayah krisis Rohingya, dan pada bulan September, mereka memanggil duta besar Myanmar untuk mengungkapkan ketidaksenangan mereka atas kekerasan tersebut.
Pada bulan Oktober, Woodside Petroleum Australia dan mitranya menunda rencana eksplorasi gas di Myanmar sampai tahun 2018 karena hasil pengeboran yang mengecewakan, namun para analis mengatakan bahwa krisis politik di Myanmar mungkin merupakan faktor tambahan. (st/nyt)