N'DJEMENA, CHAD (voa-islam.com) - Presiden Prancis Emmanuel Macron mengecam keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik pasukan AS dari Suriah, dengan mengatakan "sekutu harus dapat diandalkan".
"Saya sangat menyesali keputusan itu," kata Macron, berbicara di ibukota Chad, N'Djamena.
Itu terjadi setelah Trump memerintahkan penarikan lengkap pasukan AS dari Suriah, mengklaim bahwa kelompok Islamic State telah dikalahkan.
Dia juga mengumumkan bahwa kehadiran militer AS di Afghanistan akan "dibelah dua", meningkatkan kekhawatiran tentang keamanan negara yang dicengkeram oleh perlawanan Taliban.
IS telah direduksi menjadi sebidang kecil di timur Suriah, tetapi mengorganisir serangan balik "besar" terhadap pasukan Tentara Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS, pekan ini, begitu berita muncul dari penarikan Amerika.
SDF yang didominasi Komunis Kurdi juga khawatir akan serangan oleh pasukan Turki dan Suriah dengan laporan-laporan peningkatan pasukan Ankara di perbatasan.
"Menjadi sekutu adalah bertempur bahu-membahu," kata Macron, seraya menambahkan bahwa Prancis melakukan hal itu di Chad melawan Al-Qaidah dan kelompok-kelompok jihadis lainnya.
"Seorang sekutu harus dapat diandalkan, untuk berkoordinasi dengan sekutu lainnya," katanya.
Macron juga memberikan penghormatan kepada Menteri Pertahanan James Mattis yang mengundurkan diri pekan ini karena keputusan Trump tentang penarikan Suriah.
"Saya ingin di sini untuk memberikan penghormatan kepada Jenderal Mattis ... selama satu tahun kita telah melihat bagaimana dia adalah mitra yang dapat diandalkan," kata Macron pada konferensi pers dengan timpalannya dari Chad, Idriss Deby.
Islamic State, yang pernah menguasai wilayah besar Irak dan Suriah, sekarang terbatas pada sejumlah kecil wilayah di sekitar Hajin.
Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang membentuk sebagian besar SDF telah mengancam untuk keluar dari pertempuran anti-IS jika diserang oleh Turki, selain juga mengancam akan melepaskan semua tahanan IS yang mereka pegang sebagaimana yang pernah mereka lakukan dulu saat operasi untuk pembebasan Afrin. (st/TNA)