TRIPOLI, LIBYA (voa-islam.com) - Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya yang diakui secara internasional menuduh Prancis mendukung Jenderal Khalifa Haftar yang membangkang ketika pasukannya terus melanjutkan serangan di ibukota Tripoli.
Menteri Dalam Negeri pemerintah persatuan Fathi Bach Agha mengatakan pada hari Senin (22/4/2019) bahwa pemerintah Prancis mendukung "kriminal Haftar."
GNA akan memutuskan hubungan keamanan dengan Paris, kata Agha.
Komentar itu memicu kejutan di kedutaan Prancis dan memicu penolakan cepat terhadap tuduhan yang mereka klaim "tidak berdasar" tersebut.
Pendukung GNA mengatakan Prancis telah memblokir resolusi di Dewan Keamanan PBB, Uni Eropa dan organisasi internasional lainnya yang menentang serangan Haftar.
Analis percaya Paris melihat Haftar dan apa yang disebut militer gadungan Tentara Nasional Libya (LNA) sebagai kekuatan penstabil potensial di negara Afrika yang diguncang konflik bertahun-tahun.
Ratusan warga Libya melakukan protes terhadap Prancis di Tripoli pada hari Jum'at, mengenakan rompi kuning merek dagang demonstran anti-pemerintah Prancis dan mengutuk Prancis dan "penjahat perang" Haftar.
Libya telah dibagi antara dua pemerintah saingan, Dewan Perwakilan Rakyat yang berbasis di kota Tobruk di timur dan GNA yang didukung internasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez al-Serraj di Tripoli.
Haftar yang berusia 75 tahun, yang menikmati kesetiaan sekelompok milisi bersenjata dan dukungan dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Mesir, telah menjadikan dirinya sebagai pelindung pemerintah di Tobruk. Pasukan bersenjata dan milisi yang setia pada GNA telah melawan ofensif Haftar.
Haftar meluncurkan kampanye mautnya pada tanggal 4 April untuk menyerang dan menaklukkan Tripoli, kursi GNA, yang mengakibatkan pertempuran sengit terus-menerus di tepi selatan ibukota.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pertempuran sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 205 orang dan melukai lebih dari 900 lainnya. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga melaporkan bahwa lebih dari 25.000 orang telah terlantar akibat bentrokan tersebut.
Libya telah menjadi tempat meningkatnya kekerasan sejak 2011, ketika mantan diktator Muammar Khadafi digulingkan dari kekuasaan setelah pemberontakan dan intervensi militer NATO. Khadafi sendiri dalam pemberontakan tersebut.
Penggulingannya menciptakan kekosongan kekuasaan yang besar, yang menyebabkan kekacauan dan munculnya banyak kelompok jihadis, termasuk Al-Qaidah dan Islamic State. (st/ptv)