ADEN, YAMAN (voa-islam.com) - Pemerintah Yaman pada hari Sabtu (20/6/2020) mengatakan bahwa milisi Dewan Transisi Selatan (STC) yang didukung Uni Emirat Arab (UEA) melakukan "kudeta penuh di kegubernuran Socotra," kata seorang pejabat pemerintah, lapor Anadolu Agency.
Mengutip seorang pejabat pemerintah yang tidak disebutkan namanya, kantor berita resmi Yaman melaporkan: "Milisi dari Dewan Transisi di Socotra melakukan kudeta penuh yang merusak institusi negara di provinsi ini."
"Milisi-milisi ini melancarkan serangan dengan berbagai senjata berat dan sedang, menargetkan institusi negara dan properti warga, dan menyerbu kamp-kamp dan juga markas pemerintah," kata pejabat itu.
"Pemerintah tidak akan menerima absurditas ini."
Pejabat itu menyerukan koalisi yang dipimpin Saudi untuk membantu "menghentikan kekacauan, kekacauan dan agresi yang dilakukan oleh milisi STC dan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan perjanjian Riyadh."
Dalam konteks terkait, sebuah sumber lokal, lebih suka tidak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang untuk berbicara kepada media, mengatakan kepada Anadolu Agency, bahwa “orang-orang bersenjata dari STC menangkap Kolonel Abdel-Rahman al-Zafni, komandan Angkatan Udara di Socotra, dan memindahkannya ke lokasi yang tidak diketahui. "
Pekan lalu, STC mendeklarasikan pemerintahan sendiri dan keadaan darurat di ibukota sementara Aden dan provinsi selatan, yang menyebabkan ketegangan di Socotra serta provinsi lain di selatan.
Pemerintah Yaman dan provinsi Hadhramaut, Shabwa, al-Mahra, Abyan dan administrasi Socotra telah menolak langkah STC, yang juga menuai kritik internasional.
Yaman telah dihancurkan oleh konflik yang meningkat pada Maret 2015 setelah pemberontak Syi'ah Houtsi yang didukung Iran merebut sebagian besar wilayah negara berpenduduk mayoritas Sunni tersebut termasuk ibukota Sana'a dan memaksa Presiden Abdrabbou Mansour Hadi untuk melarikan diri dari negara itu.
Konflik lima tahun telah menewaskan ribuan warga sipil dan hampir 3,7 juta orang terlantar secara internal, menurut PBB.
Dampak pada infrastruktur negara itu sangat buruk, dengan jalur darat dan bandara utama rusak parah. (MeMo)