TOBRUK, LIBYA (voa-islam.com) - Pasukan pemberontak pimpinan panglima perang Libya Jenderal Khalifa Haftar telah menolak pengumuman gencatan senjata oleh pemerintah Libya yang diakui secara internasional , menyebutnya sebagai aksi "pemasaran", Al Jazeera melaporkan.
Menurut saluran berita, Ahmed Mismari, juru bicara Tentara Nasional Libya gadungan (LNA) Haftar, mengatakan pasukan saingan dari barat negara yang dilanda perang itu bergerak di sekitar garis depan di tengah negara.
"Pasukan yang berbasis di timur siap untuk menanggapi setiap percobaan serangan terhadap posisinya di sekitar kota pesisir Sirte dan Jufra, lebih jauh ke pedalaman," katanya dalam jumpa pers.
Jum'at pagi, pemerintah Libya mengumumkan gencatan senjata segera di seluruh negeri, menyerukan pemilihan presiden dan parlemen Maret mendatang.
Pernyataan ini datang dari LNA setelah pengumuman gencatan senjata dan seruan untuk dimulainya kembali produksi minyak oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Fayez Al-Sarraj.
Di sisi lain, Ketua Parlemen Tobruk di Libya, Aguila Saleh, menyerukan pernyataan gencatan senjata segera dan agar Sirte menjadi markas sementara Dewan Presiden yang baru.
Selain itu, politisi asal Turki Libya dan ketua Dewan Tinggi Negara, Khalid Al-Mishri, pada Rabu mengumumkan keinginannya untuk bertemu dengan Saleh di Maroko, sebagai bagian dari upaya yang dilakukan oleh Rabat untuk menyelesaikan krisis Libya.
Perkembangan dua bulan setelah konflik di kegubernuran Sirte dan Jufra. AS dan Jerman menyerukan agar kawasan itu diubah menjadi zona demiliterisasi dengan dibukanya ladang minyak dan pelabuhan.
Juni lalu, tentara Libya membebaskan sebagian besar wilayah barat dari milisi Jenderal Khalifa Haftar dan tentara bayaran asing.
Milisi Haftar, yang didukung oleh negara-negara Arab dan Eropa, melancarkan serangan terhadap Tripoli pada 4 April 2019, yang mengakibatkan cedera sipil dan kematian serta kerusakan besar-besaran. Namun, pasukan Barat mengalami kerugian besar setelah tentara nasional melakukan intervensi di tengah seruan yang meluas untuk dialog dan solusi politik untuk krisis yang memburuk.
Selama bertahun-tahun, Libya telah menyaksikan konflik bersenjata, ketika pasukan Haftar, yang didukung oleh negara-negara Arab dan Barat, berusaha merebut legetimasi dan otoritas pemerintah Libya yang diakui secara internasional di negara kaya minyak itu. (MeMo)