PARIS, PRANCIS (voa-islam.com) - RUU kontroversial anti-Islam Prancis yang diklaim untuk menghentikan penyebaran Islam radikal dan mempertahankan nilai-nilai sekuler telah disetujui oleh majelis rendah parlemen.
RUU tersebut, yang bertujuan untuk mempertahankan "prinsip-prinsip republik," telah disetujui oleh Majelis Nasional pada hari Selasa (16/2/2021). Menurut BFM TV, undang-undang tersebut sekarang akan dipindahkan ke Senat, yang akan dipertimbangkan pada 30 Maret.
Meskipun RUU tersebut tidak pernah menyebut nama Islam radikal, RUU itu diperkenalkan oleh pemerintah sebagai tanggapan atas serangkaian serangan profil tinggi di Prancis tahun lalu.
Presiden Emmanuel Macron dan pejabat lainnya memandang Islamisme sebagai ancaman terhadap nilai-nilai inti yang membentuk masyarakat Prancis modern, termasuk prinsip sekularisme yang sudah berusia lebih dari satu abad.
Perdana Menteri Jean Castex pada bulan Desember ketika draf tersebut pertama kali diluncurkan mengklaim undang-undang itu tidak menargetkan terhadap agama tertentu, tetapi terhadap "fanatisme agama" secara umum. Bagaimanapun, RUU itu lebih menyasar kepada Islam.
RUU tersebut memungkinkan pengawasan yang lebih kuat terhadap kelompok agama, LSM dan asosiasi Islam, serta praktik homeschooling. Ini juga akan menyediakan alat untuk menuntut orang-orang karena perkataan yang mendorong kebencian, doxing, dan membuat ancaman kepada pegawai negeri.
Pada Oktober 2020, seorang guru sekolah menengah bernama Samuel Paty dipenggal di pinggiran kota Paris oleh seorang remaja asal Chechnya setelah Paty menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada siswa sebagai bagian dari pelajaran tentang kebebasan berbicara. Penggambaran Muhammad dianggap penghinaan dalam Islam. Penyerang ditembak mati oleh polisi beberapa menit setelah pembunuhan itu.
Kurang dari dua pekan setelah pembunuhan Paty, seorang penyerang membunuh tiga orang di sebuah gereja Katolik di Nice, Prancis selatan.
Serangan tersebut semakin mendorong pihak berwenang untuk menindak masjid dan organisasi yang dituduh menyebarkan kepercayaan radikal.
Retorika keras Macron tentang masalah ini juga menuai reaksi, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk memicu protes di negara-negara mayoritas Muslim.