YANGON, MYANMAR (voa-islam.com) - Sedikitnya 10 orang dilaporkan tewas dan banyak lainnya terluka dalam tindakan keras polisi terhadap demonstran anti-kudeta di beberapa kota Myanmar pada hari Ahad (28/2/2021).
Menurut saksi mata dan media lokal, demonstran anti kudeta dihadang dengan gas air mata, peluru karet, dan granat kejut saat polisi dan tentara mengintensifkan tindakan keras terhadap kampanye melawan kudeta militer baru-baru ini di negara Asia Tenggara itu.
Polisi dan pasukan keamanan menggunakan senjata mematikan di kota-kota besar dan kecil untuk menghentikan demonstrasi anti-kudeta besar-besaran, menewaskan sedikitnya 10 orang yang memprotes kudeta 1 Februari.
Situs web berita Khit Thi Media melaporkan bahwa empat pengunjuk rasa tewas di kota komersial Yangon dan tiga di Bago, sebuah kota sekitar 78 kilometer timur Yangon, dan tiga di Dawei, ibu kota wilayah pesisir selatan Tanintharyi.
Seorang mahasiswa dan seorang guru sekolah termasuk di antara mereka yang tewas di Yangon, kata saksi dan laporan.
Polisi menembakkan gas air mata sebelum dengan kasar membubarkan aksi protes, yang sebagian besar dilakukan oleh para guru sekolah, di depan sebuah gedung milik Kementerian Pendidikan, kata Irrawaddy, outlet berita lokal lainnya.
Ia menambahkan bahwa seorang guru sekolah perempuan meninggal karena serangan jantung setelah terkena peluru karet.
“Mengejutkan melihat betapa brutalnya polisi. Mereka menembakkan gas air mata, kemudian bergegas ke arah para guru yang memprotes, dan mulai memukuli serta menendang mereka,” kata Myo Thein, seorang saksi mata yang menjalankan warung pinggir jalan di dekat lokasi protes.
"Polisi tidak menunjukkan belas kasihan kepada mereka," katanya, menambahkan bahwa sekitar 40 guru sekolah ditahan oleh polisi selama tindakan keras tersebut.
Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa salah satu anggota mereka tewas dalam protes di Hledan Street Junction, sebuah lokasi protes besar di Yangon.
Dinyatakan bahwa Nyi Nyi Aung Htet Naing, seorang mahasiswa berusia 23 tahun di Universitas Yangon Barat, terbunuh ketika pasukan keamanan menembak tubuhnya.
Anadolu Agency tidak dapat segera memastikan apakah polisi menggunakan peluru tajam.
Seorang penduduk Dawei mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa polisi dan tentara membubarkan massa dengan kasar.
"Mereka bahkan memasuki rumah-rumah tempat pengunjuk rasa bersembunyi, dan melepaskan tembakan," katanya, menambahkan bahwa seorang pengunjuk rasa perempuan terluka setelah ditembak di rumahnya sebelum diseret keluar oleh polisi.
"Dia ditembak dua kali sebelum polisi menariknya keluar dari rumah saya," kata wanita berusia 40-an, tanpa menyebut nama.
Namun, Human Rights Watch (HRW) mengatakan pasukan keamanan menggunakan senjata mematikan terhadap para pengunjuk rasa damai.
Perlakuan kekerasan Pasukan Keamanan Myanmar terhadap para demonstran sebagai tanggapan atas protes anti-kudeta yang sebagian besar damai tidak dapat diterima dan harus segera dihentikan, kata sebuah pernyataan oleh Wakil Direktur HRW Asia Phil Robertson.
Amunisi tajam tidak boleh digunakan untuk mengendalikan atau membubarkan protes, dan kekuatan mematikan hanya dapat digunakan untuk melindungi nyawa atau mencegah cedera serius, tambahnya.
Pengawas HAM itu mengatakan pasukan keamanan menahan para jurnalis yang meliput protes, menuntut pembebasan mereka segera dan tanpa syarat.
Paramedis yang merawat demonstran yang terluka di lokasi protes juga telah ditangkap oleh pasukan keamanan untuk mengintimidasi mereka yang mendukung pengunjuk rasa pro-demokrasi, menurut pernyataan itu. (AA)