BAMAKO, MALI (voa-islam.com) - Ratusan pengunjuk rasa Mali turun ke jalan di ibu kota, Bamako, untuk berdemonstrasi menentang kehadiran militer Prancis di negara Afrika Barat itu.
Para pengunjuk rasa berkumpul di pusat Bamako pada hari Jum'at (29/10/2021), meneriakkan slogan-slogan anti-Prancis dan menyerukan penarikan total pasukan Prancis dari negara mereka.
"Kami di sini untuk Mali, kami di sini untuk menunjukkan kedaulatan nasional kami. Untuk mengingatkan seluruh dunia bahwa kedaulatan adalah milik rakyat dan bahwa mereka yang belum memahami ini harus mempercepat hari ini," kata Mohamed Ousmane Mohamedoun, seorang anggota Dewan Transisi Nasional Mali dan penyelenggara protes.
“Karena transisi bagi kita hari ini adalah hasil dari salah urus selama beberapa dekade, salah tata kelola negara kita, dan kemitraan yang buruk,” tambahnya.
Mali semakin dilanda kekerasan sejak pemberontakan Tuareg pada 2012 dibajak oleh militan ekstremis, yang melakukan pembunuhan dan serangan terhadap pasukan pemerintah meskipun ada pasukan Prancis dan PBB.
Awal bulan ini, Perdana Menteri Mali Choguel Kokalla Maiga mengatakan ada bukti bahwa Prancis telah melatih kelompok "teroris" yang beroperasi di negara Afrika Barat itu.
Sebuah misi Prancis mulai beroperasi di Mali pada 2013 untuk melawan jihadis yang diklaim Paris terkait dengan kelompok pejuang Al-Qaidah dan ISIS.
Musim panas ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan penarikan bertahap kehadiran militer Prancis di Sahel dan berakhirnya operasi militer Prancis yang dikenal sebagai Barkhane.
Mali menuduh Prancis meninggalkan negara yang dilanda konflik dengan keputusan "sepihak" untuk menarik pasukan. Pemerintah Mali yang didominasi militer kemudian meminta bantuan perusahaan tentara bayaran Rusia dalam memerangi jihadis.
Sejak itu, ketegangan meningkat antara Prancis dan bekas jajahannya.
Pasukan Barkhane Prancis, yang beroperasi di Mali, Chad, Niger, Burkina Faso, dan Mauritania, saat ini memiliki 5.000 tentara di wilayah tersebut. (ptv)