AMERIKA SERIKAT (voa-islam.com) - Perang di Gaza telah memicu perpecahan mendalam di industri musik global, dengan para musisi menghadapi boikot, serangan balik, serta tekanan untuk berpihak antara “Israel” dan Palestina.
Wall Street Journal pada Sabtu (6/9/2025) menyoroti bahwa perang di Gaza, yang kini mendekati tahun kedua, telah menyalakan aktivisme yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia musik. Dari bintang pop dunia hingga musisi underground, semakin banyak artis menggunakan panggung mereka untuk mengecam serangan “Israel” dan menunjukkan solidaritas kepada rakyat Palestina, sementara mereka yang memilih diam justru mendapat kritik keras dari para penggemar dan aktivis.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) meningkatkan kampanyenya dengan menyerukan boikot terhadap musisi dan promotor yang terhubung dengan “Israel.” Seruan terbaru menargetkan tur Eropa Radiohead, mengutip konser band tersebut di Tel Aviv pada 2017 dan kolaborasi gitaris Jonny Greenwood dengan seorang artis Israel.
Di atas panggung, dukungan terhadap Palestina kini semakin sulit diabaikan. Imagine Dragons, setelah berbulan-bulan menegaskan bahwa mereka tidak akan berpihak, akhirnya mengibarkan bendera Palestina di Milan. Charli XCX bergabung dengan gerakan tersebut di Primavera Sound Porto, memimpin teriakan “Free Palestine” setelah mendapat tekanan dari penggemarnya secara online.
Festival Glastonbury menjadi titik panas musim panas ini, ketika duo rap Inggris Bob Vylan meneriakkan “Free, free Palestine” sebelum berteriak “Death, death to the IDF.” Aksi itu menuai kecaman dari Perdana Menteri Keir Starmer dan kedutaan Israel, namun bagi banyak penonton, hal tersebut mencerminkan kemarahan mendalam atas serangan “Israel” ke Gaza. Grup ini kemudian dipecat dari agensinya, sebuah langkah yang menurut para aktivis membuktikan bagaimana industri menghukum artis yang berdiri bersama Palestina.
Tekanan tidak hanya dirasakan oleh artis yang bersuara menentang genosida, tetapi juga mereka yang berpihak pada pendudukan Israel. Azealia Banks, pendukung kuat Zionisme, mengklaim festival-festival di Inggris mencoba memaksanya membuat pernyataan pro-Palestina. Sementara itu, penyanyi Israel-Iran Liraz Charhi mengatakan ia kehilangan konser karena menolak memposting dukungan “Free Palestine.” Dua konser gabungan Jonny Greenwood dan musisi Israel Dudu Tassa juga dibatalkan awal tahun ini setelah tekanan BDS.
Thom Yorke dari Radiohead mencoba merespons dengan hati-hati, menyebut pemerintah “Israel” sebagai “ekstremis dan sinis” sembari menyebut Hamas “sama-sama sinis.” Ia berpendapat bahwa teriakan “Free Palestine” menghindari pembahasan peran Hamas dalam peristiwa 7 Oktober. BDS menolak komentar Yorke, menyebutnya sebagai “pemutihan genosida.” Yorke mengakui serangan balik itu sangat membebaninya: “Perburuan penyihir di media sosial (bukan hal baru) dari kedua sisi yang menekan artis untuk membuat pernyataan hanya memperburuk ketegangan, ketakutan, dan penyederhanaan berlebihan atas masalah kompleks.”
U2 juga mengkritik baik “Israel” maupun Hamas pada Agustus lalu, namun diserang di Irlandia karena dinilai tidak cukup keras terhadap “Israel.” Penyanyi Irlandia Mary Coughlan menyebut komentar mereka “busuk dan menyedihkan.” Sebagian lainnya justru memuji sikap band tersebut sebagai momen keseimbangan yang langka.
Vokalis Coldplay, Chris Martin, dalam sebuah konser di London berusaha menenangkan suasana ketika dua penggemar Israel mendapat sorakan dan ejekan. “Saya sangat berterima kasih kalian hadir di sini sebagai manusia. Kami memperlakukan kalian sebagai manusia yang setara di bumi, terlepas dari asal kalian,” katanya.
Dengan nilai industri musik live global hampir mencapai 35 miliar dolar AS tahun lalu dan diproyeksikan hampir dua kali lipat pada 2035, para promotor khawatir gelombang besar aktivisme pro-Palestina akan memaksa industri untuk meninjau kembali hubungan dengan “Israel.”
Namun, bagi para aktivis, inilah tujuan utama: memastikan bisnis hiburan tidak bisa lagi bersikap netral di tengah genosida “Israel” di Gaza. (MYD/Ab)