PARIS, PRANCIS (voa-islam.com) – Umat Muslim di Prancis diguncang setelah sembilan kepala babi, hewan yang dianggap najis dalam Islam, ditemukan di depan pintu masuk sejumlah masjid di Paris dan sekitarnya pada 9 September 2025.
Insiden tersebut segera memicu penyelidikan aparat keamanan. Prefek Polisi Paris, Laurent Nunez, mengumumkan bahwa kasus ini tengah ditangani sebagai dugaan tindakan campur tangan asing. Menurut kantor kejaksaan Paris, dua orang yang mengendarai mobil berpelat Serbia diduga membeli sekitar 10 kepala babi dari seorang peternak di Normandia pada malam 8 September. Rekaman CCTV menunjukkan keduanya kemudian tiba di kawasan Oberkampf, Paris, sebelum menyebarkan kepala-kepala babi itu di sembilan masjid, lalu meninggalkan Prancis menuju Belgia pada dini hari.
“Kepala babi yang diletakkan di depan masjid-masjid di wilayah Paris dipasang oleh warga asing yang segera meninggalkan negara ini, dengan tujuan jelas untuk menimbulkan keresahan,” demikian pernyataan resmi Kejaksaan Paris. Jaksa Laure Beccuau menegaskan, “Tujuannya adalah mengguncang warga, menimbulkan rasa tidak aman, serta menciptakan perpecahan antar-komunitas.”
Di Masjid Javel, Paris, sebuah kepala babi berlumuran darah bahkan ditemukan dengan tulisan “Macron” di atasnya. Najat Benali, rektor masjid tersebut, menyatakan bahwa jamaah dalam kondisi terkejut ketika menemukan tindakan penodaan itu menjelang salat subuh. “Ini pertama kalinya hal seperti ini terjadi pada kami,” ujarnya.
Insiden serupa juga dialami Masjid Islah di Montreuil. Rekaman kamera pengawas memperlihatkan seorang pria meninggalkan kepala babi di depan pintu masjid sebelum memotretnya. “Awalnya kami sangat khawatir, tetapi setelah tahu bukan hanya masjid kami yang diserang, kami mengerti ini bukan masalah pribadi,” kata pengurus masjid, Haider Rassool.
Kasus ini terjadi di tengah meningkatnya kejahatan bermotif kebencian terhadap Muslim di Prancis. Data resmi mencatat 145 insiden Islamofobia dalam lima bulan pertama 2025, meningkat 75 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Bentuk serangan beragam, mulai dari ancaman, percobaan pembakaran, hingga pembunuhan, termasuk kasus tragis yang menimpa Aboubakar Cisse asal Mali pada Mei lalu.
Survei terbaru IFOP yang dimuat harian Libération menunjukkan dua dari tiga Muslim Prancis pernah mengalami perilaku rasis dalam lima tahun terakhir. Aktivis antirasisme Saphia Ait Ouarabi mengatakan, “Sebagai seseorang yang memiliki ayah Muslim, peristiwa ini sangat menyakitkan secara pribadi. Saya khawatir untuk adik dan sepupu saya, juga bagi perempuan muda berhijab yang takut diserang.”
Pengamat hukum Rim-Sarah Alouane dari Universitas Toulouse Capitole menilai pihak asing sedang memanfaatkan luka sosial yang sudah ada di Prancis. “Mereka tidak perlu menciptakan perpecahan; cukup mengeksploitasinya. Dengan demikian, kejahatan kebencian berubah menjadi senjata geopolitik.”
Meskipun demikian, para pemimpin komunitas agama di Paris menegaskan tidak akan terpecah belah oleh aksi provokasi ini. “Sejak satu Muslim diserang, maka itu sama saja dengan menyerang seluruh komunitas,” ujar Benali. “Mereka ingin melemahkan solidaritas kita, tetapi mereka keliru.” (Aje/Ab)