LONDON, INGGRIS (voa-islam.com) - Sebuah laporan mengungkap bahwa Israel menggelontorkan dana sebesar 545 juta shekel (sekitar USD 145 juta atau Rp2,3 triliun) untuk kampanye global melawan meningkatnya kritik internasional — termasuk dengan memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) generatif seperti ChatGPT untuk membentuk opini publik yang menguntungkan Tel Aviv.
Mengutip dokumen yang baru diajukan ke Departemen Kehakiman AS, media Ynetnews melaporkan pada Senin (6/10/2025) bahwa Kementerian Luar Negeri Israel meluncurkan “salah satu kampanye diplomasi publik paling ambisiusnya” di Amerika Serikat sejak perang genosida di Gaza dimulai. Langkah ini diambil di tengah menurunnya dukungan publik AS, terutama di kalangan muda.
Sebuah survei Gallup yang dirilis Juli lalu menunjukkan hanya 9% warga AS berusia 18–34 tahun yang mendukung perang Israel di Gaza.
Berdasarkan dokumen di bawah Undang-Undang Pendaftaran Agen Asing (FARA) itu, Israel mengontrak perusahaan AS bernama Clock Tower untuk memengaruhi percakapan daring — termasuk di platform AI seperti ChatGPT.
Rezim Tel Aviv menggandeng perusahaan berhaluan kanan untuk menargetkan pengguna media sosial dan AI generasi muda (Gen Z) dengan konten pro-Israel.
Kampanye tersebut dikoordinasikan oleh Biro Periklanan Pemerintah Israel dan dijalankan oleh Havas Media Network, dengan target agar 80% konten difokuskan pada audiens Gen Z di platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan podcast.
Target eksposur yang ditetapkan dalam kontrak mencapai 50 juta tayangan per bulan, angka yang luar biasa tinggi untuk sebuah kampanye digital.
Namun, upaya memengaruhi respons sistem AI terhadap pertanyaan tentang Israel yang dilakukan Clock Tower dianggap sebagai bagian paling kontroversial dari rencana itu.
Dalam dokumen tersebut dijelaskan adanya upaya membangun “situs web dan konten untuk memengaruhi hasil percakapan GPT.”
Clock Tower, yang dipimpin Brad Parscale — mantan manajer kampanye Presiden Donald Trump — akan membuat materi daring yang dapat memengaruhi data pelatihan model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT, Grok milik X, dan Gemini milik Google. Dengan demikian, model-model tersebut berpotensi menampilkan Israel dalam citra yang lebih positif.
Pejabat Kemenlu Israel yang terdaftar dalam dokumen FARA adalah Eran Shiovitz, kepala staf komunikasi strategis. Ia memimpin inisiatif “Proyek 545”, dinamai sesuai keputusan pemerintah Israel yang mengalokasikan 545 juta shekel untuk kampanye media global pada tahun 2025.
Kampanye itu juga melibatkan influencer media sosial, termasuk dalam proyek baru bernama “Project Esther”, yang mendanai jaringan influencer berbasis di AS untuk menyebarkan konten pro-Israel. Proyek ini dikembangkan secara diam-diam dengan keterlibatan pejabat tinggi Israel.
Sebelumnya dilaporkan pula bahwa Israel membayar influencer hingga USD 7.000 (sekitar Rp110 juta) per unggahan dalam kampanye propaganda online yang terkoordinasi.
Pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengakui bahwa rezimnya berusaha memutihkan genosida di Gaza melalui media sosial.
Dalam pertemuan dengan sekelompok influencer pro-Israel di Konsulat Israel di New York, Netanyahu mengatakan:
“Kita harus melawan balik. Bagaimana caranya? Dengan influencer. Mereka sangat penting.”
Ia menambahkan, “Senjata paling penting saat ini adalah media sosial.”
Upaya Netanyahu mengubah narasi ini terjadi sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa bulan lalu mengonfirmasi genosida Israel di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 67.160 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak. (ptv/Ab)