

KHARTOUM, SUDAN (voa-islam.com) - Kepala pemerintahan de facto Sudan sekaligus panglima angkatan bersenjata, Abdel Fattah al-Burhan, bersumpah akan mengalahkan pasukan pemberontak paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dan membalas kematian para korban, sehari setelah RSF menyatakan kesediaannya untuk melakukan gencatan senjata.
Pernyataan tersebut dirilis oleh Dewan Kedaulatan Sudan pada Kamis (6/11/2025), setelah Burhan bertemu dengan para perwira senior dari “komando lapangan” sehari sebelumnya.
“Kami akan membalas setiap syuhada yang mengorbankan hidupnya dalam "Pertempuran Martabat", dan kami akan membalas mereka yang dibunuh serta dimutilasi di El-Fasher, El-Geneina, Al-Jazira, dan kota-kota lain yang dinodai oleh milisi teroris itu,”
ujar Burhan, merujuk pada RSF.
Pada 26 Oktober, RSF — yang telah berperang sengit melawan tentara Sudan selama lebih dari dua tahun — mengklaim telah menguasai sepenuhnya kota El-Fasher, yang mereka kepung hampir 18 bulan.
Laporan menyebutkan bahwa milisi RSF mengeksekusi ribuan warga sipil dan melakukan berbagai kejahatan lain di El-Fasher, termasuk penjarahan dan kekerasan seksual. Kota itu merupakan benteng terakhir tentara di wilayah barat Darfur.
Saat ini, tentara reguler Sudan menguasai sebagian besar wilayah utara, timur, dan tengah negara itu, termasuk ibu kota Khartoum, sementara wilayah selatan masih diperebutkan.
Adapun RSF menguasai sebagian besar Darfur, wilayah seluas negara Spanyol, yang secara efektif membelah Sudan dan menimbulkan kekhawatiran akan pemisahan baru di negara Afrika Timur yang miskin itu.
Diperkirakan, perang tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang dan mengungsikan sekitar 13 juta lainnya. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan dan pengungsian terburuk di dunia.
Burhan memperingatkan bahwa kampanye yang ia sebut sebagai “negara-negara agresor dan arogan terhadap Sudan” akan gagal, dan rakyat Sudan akan keluar sebagai pemenang.
Pemerintah Khartoum menuduh Uni Emirat Arab (UEA) mendukung RSF — tuduhan yang tidak mau diakui oleh pihak UEA.
“Pertempuran melawan RSF adalah pertempuran rakyat Sudan,” tegas Burhan, seraya menambahkan bahwa “setiap orang yang berjuang atas nama rakyat ini tidak akan pernah dikalahkan atau dipatahkan.”
Ia juga menegaskan tekadnya untuk “mengalahkan milisi pemberontak, mengamankan perbatasan Sudan, dan maju dengan kekuatan serta keteguhan untuk mencapai kemenangan dan melenyapkan milisi itu.”
Pernyataan Burhan muncul di tengah upaya yang dipimpin Amerika Serikat untuk menetapkan gencatan kemanusiaan selama tiga hingga sembilan bulan guna membuka jalan bagi akhir perang.
RSF pada Kamis menyatakan menyetujui proposal gencatan kemanusiaan yang diajukan oleh mediator internasional.
“Sebagai tanggapan terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat Sudan, RSF menegaskan kesediaannya untuk memasuki gencatan kemanusiaan yang diusulkan oleh negara-negara Quad,” bunyi pernyataan RSF, merujuk pada Amerika Serikat, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Pemerintah yang berpihak pada militer belum memberikan komentar atas pengumuman RSF tersebut.
Sementara itu, pertempuran dan serangan drone antara kedua pihak masih berlanjut di Darfur dan wilayah Kordofan selatan.
Dewan HAM PBB dalam pernyataan Kamis menyebutkan bahwa mereka akan mengadakan sesi khusus pada Jumat, 14 November 2025, untuk membahas situasi HAM di dalam dan sekitar El-Fasher, dalam konteks konflik yang masih berlangsung di Sudan. (TNA/Ab)