

KHARTOUM, SUDAN (voa-islam.com) - Kelompok pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan telah mengumpulkan ratusan jenazah dari jalan-jalan di El-Fasher dalam beberapa hari terakhir, sebagian dibuang ke kuburan massal dan sebagian lainnya dibakar, demikian disampaikan Jaringan Dokter Sudan pada Ahad (10/11/2025).
Jaringan tersebut menggambarkan tindakan mengerikan RSF — yang dilakukan setelah kelompok itu merebut secara brutal ibu kota negara bagian Darfur Utara — sebagai “kejahatan lain yang menambah catatan hitam RSF.”
Pernyataan itu menambahkan bahwa tindakan penguburan dan pembakaran jenazah tersebut merupakan upaya untuk menutupi “kejahatan terhadap warga sipil” yang dilakukan RSF.
RSF berhasil menguasai El-Fasher setelah mengepung kota itu selama sekitar 18 bulan. Kelompok paramiliter itu menyerbu Rumah Sakit Saudi di kota tersebut, membantai lebih dari 450 orang, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta melakukan pembunuhan dari rumah ke rumah dan pemerkosaan terhadap warga sipil.
RSF membantah telah membunuh siapa pun di Rumah Sakit Saudi, tetapi kesaksian para pengungsi, video daring, dan citra satelit menunjukkan gambaran mengerikan bak kiamat atas serangan tersebut.
“Kejahatan-kejahatan ini tidak akan terhapus hanya dengan menutupi bukti atau membakar jenazah,” kata Jaringan Dokter Sudan, seraya mendesak komunitas internasional untuk segera melakukan penyelidikan.
Jaringan tersebut menggambarkan tindakan RSF sebagai “babak baru dari genosida yang sepenuhnya terencana.”
Pada Kamis lalu, RSF mengumumkan telah menyetujui gencatan senjata kemanusiaan yang diusulkan oleh kelompok mediator yang dipimpin AS, dikenal sebagai Quad. Sementara itu, pihak militer menyatakan menyambut baik usulan tersebut, namun hanya akan menyetujuinya jika RSF menarik diri dari wilayah sipil dan menyerahkan senjatanya.
Konflik di Sudan, yang telah berkecamuk sejak April 2023, mempertemukan pasukan pimpinan Kepala Angkatan Darat Abdel Fattah al-Burhan dengan pasukan dari mantan wakilnya, komandan RSF Mohammed Hamdan Daglo.
Perang ini telah menewaskan puluhan ribu orang, memaksa jutaan lainnya mengungsi, dan menciptakan krisis kelaparan serta pengungsian terbesar di dunia, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (TNA/Ab)