Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Di antara nikmat Allah terbesar kepada seorang hamba adalah dengan menunjukinya kepada iman dan taufiq beramal shalih. Dia wajib bersyukur atas nikmat ini dengan memastikan amal-amalnya sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Tentunya dengan ikhlas dan berharap pahala kepada-Nya semata. Inilah syarat diterima amal sholeh seorang muslim.
Bersamaan itu, dirinya selalu takut tertimpa musibah pada amalnya sehingga batal amal itu dan terhapus pahalanya. Karena sebab ini, ia menjadi manusia bangkrut dan merugi di akhirat. Oleh karena itu, dirinya senantiasa meminta kepada Allah keteguhan, keistiqomahan, dan diterimanya amal.
Di antara pembatal amal yang disebutkan Al-Qur'an adalah membenci syariat Islam; keseluruhan atau sebagiannya. Ia ragu terhadapnya atau tidak menerima ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Ini termasuk kesalahan fatal dalam Islam.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Tamimi dalam risalahnya tentang sepuluh pembatal keislaman menyebutkan di urutan kelima,
من أبغض شيئا مما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم ولو عمل به فقد كفر
“Siapa yang membenci sebagian saja dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam meskipun ia mengamalkannya, maka sungguh ia telah kafir.”
Dalil yang beliau jadikan sandaran adalah firman Allah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)
Syaikh Sulaiman bin Nashir Al-‘Ulwan dalam kitabnya “Al-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al-Islam..” menyebutkan bahwa pembatal Islam ini telah menjadi kesepakatan para ulama, seperti yang dikutip oleh pengarang Al-Iqna’ dan selainnya.
“Membenci sebagian dari ajaran yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam baik yang berupa perkataan atau perbuatan merupakan satu bentuk nifaq i’tiqadi yang pelakunya berada di neraka yang paling dasar,” keterangan Syaikh Al-‘Ulwan.
Seseorang yang membenci ajaran-ajaran yang Allah turunkan; membenci perintah-perintah wajib, membenci ketetapan larangan-larangan yang haram, atau menilai bahwa perintah-perintah dan larangan-larangan ini tidak sesuai perkembangan zaman, adat masyarakat, aturan suatu negeri maka ini sebab menghapuskan amal-amalnya.
Bukan itu saja, menolak syariat Allah dan membenci sebagian ajaran Islam menyebabkan pelakunya dihadapkan kepada siksa.
فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 27-28)
Syaikh Al-‘Ulwan, dalam Al-Tibyan, menyebutkan contoh membenci salah satu ajaran Islam, yaitu membenci poligami (beristri sah lebih dari satu). Sehingga mereka memerangi poligami (Ta’addud Zaujat) dengan berbagai cara. Tentu salah satunya, menjatuhkan kehormatan pelaku poligami syar’i dan mencela pilihannya beristri lebih dari satu.
“Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka itu memerangi Allah dan Rasul-Nya dan menentang perintah Allah Ta’ala,” Syaikh menambahkan.
Allah Subahanahu wa Ta'ala berfirman tentang pembolehan poligami,
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (niahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. Al-Nisa’: 3)
Ayat ini secara jelas membolehkan seorang laki-laki menikahi wanita lebih dari satu; 2 istri, atau 3 istri, atau 4 istri.
Syaikh Abdurrahman Al-Sa’di menyebutkan alasan tentang dibolehkannya memiliki istri lebih dari satu -sampai empat-, tekadang syahwat seseorang tidak tercukupkan oleh seorang istri saja. Maka dibolehkan untuknya menikahi seorang wanita lagi sampai berjumlah empat. Karena biasanya empat istri itu sudah cukup bagi seorang laki-laki. Dibolehkan ini dengan syarat, seseorang aman dari berbuat dzalim dan yakin dapat menunaikan hak-hak para istrinya.”
فإن خاف شيئا من هذا فليقتصر على واحدة، أو على ملك يمينه
“Jika takut, hendaknya ia cukupkan seorang istri saja atau budak wanita yang dimilikinya.”
Syaikh Muhammad Hassan, dai kondang dari Mesir, menjelaskan alasan pembolehan poligami, “terkadang seorang istri sakit-sakitan, tidak bisa punya anak, atau terkadang suami memiliki kemapanan dan kemampuan yang bisa menjadi fitnah bagi dirinya ketika istrinya haidh dan berudzur yang syar'i.”
[Baca: Ternyata, Bukan Islam yang Memulai Poligami]
Dari sini, orang yang berakal tidak boleh mengingkari syariat poligami. Karena syariat ini datang dari Allah, Dzat Maha mengetahui dan bijaksana, yang telah menciptakan laki-laki dan wanita; dan mengetahui kemampuan keduanya. Apabila seorang wanita muslimah mengingkari syariat ini, dikhawatirkan amal-amalnya terhapus. Ini didasarkan kepada firman Allah Ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ
“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9)
Penutup
Islam membolehkan poligami dengan tujuan mulia. Hendaknya seorang muslim bertakwa kepada Allah saat dirinya memutuskan berpoligami. Sehingga pilihannya tersebut tidak menjadi amunisi bagi pembenci Islam untuk merendahkan agama Allah.
Berpoligami bagian dari syariat (ajaran) Islam. Setiap muslim wajib mengakuinya. Lalu mencintainya sebagai bagian syariat. Mengingkari syariat ini berarti menentang ketetapan Allah. Akibatnya sangat berbahaya. Dari terhapusnya amal-amal kebaikan pelakunya sampai hilang imannya. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com]