Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan syariat-Nya mudah dan mengandung barakah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada uswah hasanah, Rasulullah Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya hingga yaumil qiyamah.
Mandi janabat -dalam bahasa harian orang Indonesia sering disebut mandi besar- adalah mandi yang dilakukan oleh orang yang junub untuk menghilangkan hadats besar. Pembahasan mandi janabat biasa dinamakan al-ghuslu (mandi) yang merupakan bagian dari bab thaharah (bersuci).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam kitabnya al-Mulakhash al-Fiqhi (I/64) menyebutkan, mandi janabat sudah biasa dikerjakan sejak zaman jahiliyah dan termasuk bagian dari syariat Nabi Ibrahim 'alaihi al-shalatu wa as-salam yang masih ada di tengah-tengah mereka.
Mandi janabat bagi orang junub
Sesungguhnya mandi janabat diwajibkan bagi orang yang junub. Dan seseorang disebut junub kalau dia dalam dua kondisi. Pertama, mengeluarkan mani baik dalam kondisi sadar atau tidak. Jika keluar mani sewaktu sadar (bangun) maka disyaratkan orang tersebut merasakan kenikmatan dengannya. Sebaliknya, jika keluarnya tanpa disertai rasa nikmat maka tidak wajib mandi, seperti keluar mani karena sakit atau yang lainnya.
Jika mani keluar saat tidur, yang disebut ihtilam (mimpi basah) maka mutlak wajib mandi baik merasakan nikmat atau tidak. Maka apabila seseorang bangun tidur dan mendapati basah (bekas mani) di celananya maka dia wajib mandi, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallaahu 'anha yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pernah ditanya tentang seseorang yang menemukan basah-basah pada pakaiannya, sedangkan dia tidak teringat tentang mimpinya. Beliau bersabda, “Hendaklah dia mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi. Dia tidak disebut junub, karenanya hukum janabat tidak berlaku pada dirinya. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallaahu 'anha, “ . . . dan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang teringat tentang mimpinya, tapi tidak menemukan basah-basah. Beliau bersabda, “Ia tidak wajib mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Siapa bangun dan mendapati basah-basah di celananya (bekas mani) maka wajib mandi, walau tidak ingat mimpinya.
Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi.
Kedua, bertemunya dua alat kelamin laki-laki dan perempuan (jima’), walaupun tidak sampai mengeluarkan mani. Dasarnya, hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dan lainnya, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami duduk di antara empat anggota badan istrinya, lalu kemaluannya bertemu dengan kemaluan istrinya, maka wajib keduanya mandi.”
Kedua sebab di atas telah disebutkan oleh Al-Qur’an dengan istilah junub,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“ . . . Dan jika kalian junub, mak amandilah. . .” (QS. Al-Maidah: 6)
Tatacara mandi janabat
Mandi janabat adalah bagian dari ibadah, sebagaimana wudhu. Dan setiap ibadah bersifat tauqifiyah, tidak diketahui kecuali melalui petunjuk wahyu. Dan setiap ibadah yang bersifat tauqifiyah ini, keberadaan niat sangat urgen dan menjadi syarat untuk sahnya ibadah tersebut.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal tergantung niatnya. Dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (Muttafaq’alaih)
Tatacara mandi janabat teringkas dalam dua hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Yaitu:
Pertama, hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
“Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya. Lalu berwudhu sebagaimana sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya, lalu meratakannya ke seluruh tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, hadits Maimunah radhiyallaahu 'anha, ia berkata,
أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ
“Saya pernah menyiapkan air untuk mandi janabat Rasulullah Sallllahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu mencuci kemaluan beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok–gosoknya sampai benar-benar bersih. Selanjutnya beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk mengerjakan shalat. Kemudian beliau menyiram kepalanya dengan air sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu beliau menyiram seluruh tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu membasuh kedua kakinya. Selanjutnya saya memberikan handuk kepada beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)
Dari dua hadits di atas dan diperkuat dengan hadits-hadits lainnya, tatacara mandi janabat yang sesuai sunnah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mencuci kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana atau sebelum mandi. Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah di atas, “Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya.” Dan dalam hadits Maimunah, “Beliau lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air). . .”
Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullaah berkata dalam Fath al-Baari (I/429), “Ada kemungkinan beliau mencuci kedua tangannya untuk membersihkan kotoran yang melekat pada kedua tangannya. Kemungkinan lain, itu adalah mencuci kedua tangan yang disyariatkan ketika bangun dari tidur.”
2. Mencuci kemaluan dan tempat yang terkena mani dengan tangan kiri. Dasarnya adalah hadits Maimunah di atas. Adapun memegang kemaluan hukumnya makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka janganlah ia memegang kamaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah beristinja’ dengan tangan kanannya, dan jangan pula bernafas di dalam bejana.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
3. Mencuci tangan lagi sesudah mencuci kemaluan dan membersihkannya dengan sabun ataupun yang selainnya, seperti tanah. Dalam hadits Maimunah, “Kemudian beliau menggosokkan tangannya ke lantai, lalu mengusapkannya dengan tanah lalu mencucinya. . .” dalam lafadz Muslim, “Kemudian memukulkan tangan kirinya ke tanah, lalu menggosokkannya dengan kuat.”
Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim (III/231) berkata, “Dalam hadits ini berisi anjuran untuk beristinja’ dengan air. Jika telah selesai, ia membersihkan tangannya dengan tanah atau alat pembersih yang lain (seperti sabun), atau menggosokkan tangannya ke tanah atau dinding untuk menghilangkan kotoran yang melekat padanya.”
4. Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat. Hanya saja tentang mencuci kaki, terdapat perbedaan pendapat berdasarkan dua riwayat di atas. Hadits ‘Aisyah menunjukkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencuci kaki sebelum memulai menyiram air ke kepala. Sedangkan hadits Maimunah, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengakhirkan mencuci kecua kaki hingga selesai mandi. Dalam redaksi al-Bukhari, “Setelah selesai mandi, baru beliau mencuci kedua kakinya.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya persoalan ini adalah persoalan yang lapang, seseorang diberi pilihan dari dua pendapat tersebut, dan masing-masing memiliki dasarnya dari hadits. Namun, terdapat satu pendapat dari Imam Malik yang menengahi, yaitu: Jika mandi ditempat yang tidak bersih, maka ia mengakhirkan mencuci kaki. Dan jika mandi di tempat yang bersih, maka ia mendahulukan mencuci kaki bersama wudlu. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh pengarang Shahih Fiqih Sunnah (I/233).
5. Menyela-nyela pangkal rambut secara merata lalu menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali hingga membasahi pangkal rambut. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha di atas, “Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya. . .” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam menyiram kepala hendaklah dimulai dari kepala bagian kanan, lalu yang kiri, dan terakhir kepala bagian tengah. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ
“Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila hendak mandi janabat, beliau minta diambilkan air dalam wadah besar seperti hilab (wadah untuk menampung perahan susu unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh telapak tangannya dan menyiram kepalanya mulai dari bagian kanan, lalu bagian kiri, lalu mengambil air sepenuh dua telapak tangannya dan menuangkan di atas kepalanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih dari Aisyah, ia mengatakan, “Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia menuangkan air dengan tangannya ke atas kepalanya tiga kali. Kemudian mengambil air dengan tangannya untuk dituangkan ke bagian kanannya, kemudian dengan tangannya yang lain untuk dituangkan ke bagian kirinya.” (HR. al-Bukhari)
Bagi wanita yang mengepang rambutnya, ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab, “Tidak, cukup bagimu menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim)
Adapun kalau mandi sehabis haid, lebih dianjurkan untuk melepas kepangannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)
Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan dalam Ta’liqnya atas Muntaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi junub.”
6. Menuangkan air ke seluruh tubuh dan meratakannya, dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.
Syarat utama sahnya ibadah mandi janabat ini adalah ratanya air ke seluruh anggota tubuh/seluruh tubuh terkena basuhan air. Dasarnya adalah hadits Aisyah di atas, “Lalu meratakannya ke seluruh tubuh.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukahri dan Muslim)
Hendaknya ketiak dan lipatan tubuh seperti selangkangan dan tempat yang sulit terjangkau air tidak luput dari perhatian. Hendaknya dibersihkan dan digosok, walaupun menggosok seluruh anggota badan tidak wajib.
Disebutkan dalam kitab Shahih Fiqih Sunnah (I/235), “Jumhur ulama berpendapat –yang berbeda dengan pendapat Malik dan al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa menggosok tubuh tidak wajib. Tapi dianjurkan dalam mandi. Seandainya seseorang menuangkan air ke seluruh tubuhnya, maka ia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya. Begitu juga seandainya ia menyelam ke dalam air, maka ia telah membasahi seluruh tubuhnya. . . . Berdasarkan hal ini, jika seseorang berdiri di bawah pancuran kemudian air membasahi seluruh tubuhnya, maka mandinya telah sah jika disertai dengan niat.”
7. Berpindah dari tempat semula lalu membasuh kaki, bagi orang yang tidak menyempurnakan wudhu’nya dengan membasuh kaki sebelum memulai mandi. Kesimpulan ini diambil dari hadits Maimunah radhiyallahu 'anha tentang mandi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ الْجَنَابَةِ
“Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, selain membasuh kakinya dan beliau mencuci kemaluannya serta tempat yang terkena mani. Kemudian beliau menuangkan air ke seluruh tubuh, lalu menggeser kedua kakinya dan mencuci keduanya. Inilah mandi janabat beliau.” (HR. Al- Bukhari)
Syaikh bin Bazz rahimahullaah berkata, “Membasuh kedua kaki di akhir rangkaian mandi, membasuhnya saat melakukan rangkaian wudhu sebelum mandi, atau tidak membasuhnya lagi adalah sama saja (boleh-boleh saja).”
Dan dianjurkan untuk tidak berlebih dalam menggunakan air. Karena sedikitnya air yang digunakan untuk ibadah, baik dalam wudhu ataupun mandi, menjadi tanda fakihnya seseorang terhadap agamanya. Jika kita lihat sedikitnya air yang digunakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk mandi sunguh sangat tidak sebanding dengan ukuran air yang banyak digunakan kaum muslimin saat ini. diriwayatkan oleh Anas, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam biasa mandi dengan air sebanyak 1 sha’ sampai 5 mud air, dan biasa berwudhu hanya dengan satu mud.[1]” (HR. al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, Ahmad, al-Darimi dengan lafadz milik al-Bukhari)
Demikian uraian tatacara mandi janabat sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam yang menjadi uswah hasanah dalam berbagai menjalani hidup, khususnya dalam masalah ibadah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada pembaca sekalian melalui tulisan ini. Dan semoga Dia menjadikannya sebagai catatan amal shalih bagi penulis. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amiin. [PurWD/voa-islam.com]
Tulisan Terkait:
1. Apakah Disunnahkan Menggunakan Sabun Saat Mandi Janabat?
3. Keutamaan Menggauli Istri di Hari Jum'at
4. Tata Cara Bersuci dari Haid Sesuai Sunnah
5. Bersuci dan Urgensinya dalam Ibadah
6. Tata Cara Mandi Janabat yang Sempurna
[1] 1 sha’: 3 liter. Sedangkan 1 Mud: 5/6 liter